Selasa, 10 Januari 2012

Karena Standar Kita Rendah, Saudaraku...

Tulisan ini sangat bagus, Saya ambil dari Milis Keadilan for All Medioo Okt 2007

Oleh Akmal Syarif

Umat yang malang ini kini diuji dengan berbagai nabi palsu yang muncul nyaris berbarengan. Seperti mengikuti komando yang tak terlihat, mereka berdatangan dari segala arah. Virus megalomania berjangkitan di mana-mana. Ada yang mengaku mendapat wahyu setelah bertapa di Gunung Bunder, ada pula yang mengaku-ngaku sebagia titisan Maryam atau Jibril (klaimnya memang selalu berubah seiring waktu). Ada yang mengaku menjalankan syariat yang sebenarnya dengan mengecat rambutnya pirang dan berpakaian hitam, sehingga mereka - seperti pengakuan imamnya sendiri - berwajah seram dan bagaikan singa.
Tidak perlu menyesali kedatangan para nabi palsu yang hidup dengan membohongi diri sendiri. Sejak dulu manusia jenis ini sudah ada. Matanya tertutup, pergaulannya sangat sempit, sehingga ia merasa dirinya hebat sendirian, sementara yang lain tidak. Mereka tidak tahu kenyataan, karena mereka ciptakan dunia independen dalam dirinya sendiri. Ketika Rasulullah saw. Masih hidup pun ada orang yang berusaha menandingi surah Al-'Ashr dengan sebuah syair bodoh tentang Gajah. Sepeninggal Rasulullah saw., tepatnya pada era pemerintahan Khalifah Abu Bakar ra., muncul pula nabi palsu yang membawa sebuah syair tentang kodok. Agaknya tantangan Al-Qur'an untuk menciptakan ayat-ayat yang mampu menandinginya memang terlalu berat bagi manusia.

Semuanya bermuara pada pendidikan. Secara formal maupun non-formal, pendidikan agama di negeri ini memang masih sangat menyedihkan. Kita nyaris tidak mendapatkan apa-apa dari pengajaran di sekolah. Waktu SD dulu, saya pernah mendebat guru agama yang mendefinisikan Islam sebagai singkatan dari 'Isya, Subuh, Lohor, 'Ashar dan Maghrib. Ketika itu saya protes karena nama Islam berasal dari bahasa Arab, dan setahu saya, dalam bahasa Arab tidak ada kata "Lohor", yang ada hanyalah "Zhuhur". Kalau memang nama agama ini berasal dari singkatan nama shalat lima waktu, maka namanya tidak akan menjadi "Islam", melainkan "Iszam". Kalau mau argumen yang lebih cerdas lagi, silakan merujuk pada salah satu hadits arba'in dari An-Nawawi yang penjabarannya sudah dikenal oleh setiap anak SD yang beragama Islam yang paling bodoh sekalipun. Hadits itu menjelaskan rukun Islam yang terdiri dari lima hal yang sudah amat kita kenal. Yang namanya rukun tentu tak boleh ditinggalkan sama sekali. Karena itu, shalat lima waktu yang wajib itu hanya satu dari lima rukun Islam. Kebodohan guru agama saya dulu itu 'dikompensasi' dengan nilai tujuh di dalam rapor, dan saya belum pernah menerima nilai di bawah sembilan untuk pelajaran yang sama di waktu lain. Bahkan guru agama pun tak mampu mengendalikan egonya dengan baik. Ilmu macam apa yang akan diwariskan kepada murid-muridnya?

Standar kita memang terlalu rendah. Terlalu sedikit kita mempelajari Al-Qur'an, Al-Hadits dan Sirah Nabawiyah, sehingga kita justru merasa asing dengan agama ini. Fakta bahwa para nabi palsu akhir-akhir ini sedang 'naik daun' adalah suatu petunjuk bahwa begitu banyak orang yang tidak memahami agamanya sendiri.

Dalam Islam, kita mengenal banyak tingkatan manusia. Ada kafir, munafiq, fasiq, Muslim, dan sebagainya. Di antara umat Islam pun ada berbagai tingkatannya. Ada yang ahli bid'ah, ada yang rajin maksiat, ada yang pembohong, ada yang malas ibadah, ada pula orang-orang saleh. Di atas orang-orang saleh itu adalah para utusan Allah, yaitu para Nabi dan Rasul. Di antara para Nabi dan Rasul, kita mengenal manusia yang kualifikasinya paling tinggi, yaitu Rasulullah saw., sang Nabi penutup, sang Rasul akhir zaman.

Berdasarkan logika sederhana saja, kita akan menyadari bahwa seorang direktur atau manajer perusahaan hanya akan mengganti karyawannya dengan yang setara atau lebih baik, atau setidaknya masih dalam range kualifikasi yang sama. Tidak mungkin ada direktur yang mengganti karyawan dengan yang lebih buruk. Kalaupun terjadi, itu pastilah sebuah kekhilafan murni, bukan kesengajaan. Allah SWT, di sisi lain, tidak mengenal ketidaksengajaan. Karena itu, logikanya, Allah tidak akan mengganti seorang Nabi atau Rasul dengan seseorang yang tidak memenuhi standar kualifikasinya.

Dengan demikian, kalau masih ngotot ingin menjadi Nabi sesudah Rasulullah saw., maka setidaknya ada dua hal yang mesti diperhatikan: (1) kualifikasinya harus lebih tinggi dari manusia kebanyakan, karena seorang Nabi harus lebih baik daripada orang-orang saleh, dan (2) harus memiliki kualifikasi seorang Nabi, atau preferably yang lebih baik daripada yang digantikan (which is Rasulullah saw.).

Sekarang mari kita cek keterangan Al-Qur'an mengenai kualifikasi para Nabi.

Sebelum Allah menciptakan Nabi Adam as., Allah juga telah menciptakan para malaikat dan jin. Ketika itu, Allah menceritakan kehendak-Nya untuk menciptakan manusia yang kemudian mendatangkan keheranan bagi para Malaikat. Jawaban Allah SWT yang singkat dan tegas membuat para malaikat memilih untuk tidak mempertanyakan masalah ini lebih jauh lagi: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui. " Setelah Nabi Adam as. Diciptakan, Allah mengajarinya begitu banyak pengetahuan yang bahkan para Malaikat pun tidak mengetahuinya. Melihat luasnya pengetahuan Nabi Adam as., para malaikat pun takjub dan tidak menolak ketika disuruh bersujud kepadanya (Q. S. Al-Baqarah [2]: 30 - 34). Kalau mau menggantikan Nabi Adam as., maka harus mampu memiliki pengetahuan yang membuat para Malaikat takjub.

Nabi Nuh as. Adalah contoh seorang pendakwah tangguh. Beliau berbantah-bantahan dengan kaumnya sendiri yang durhaka kepada Allah. Begitu kuatnya usaha beliau, namun betapa keras kepalanya mereka dalam kekufuran. Nabi Nuh as. Tidak mengeluh sedikit pun, namun akhirnya Allah sendirilah yang mewahyukan padanya bahwa kaumnya tidak akan beriman padanya kecuali mereka yang sudah beriman saat itu. Dengan pengikut yang secuil itu, Nabi Nuh as. Dengan tabah terus berdakwah sekaligus memimpin para pengikutnya membangun sebuah perahu superkuat untuk menyelamatkan diri dari banjir besar yang menghabisi kaumnya, termasuk putranya sendiri (Q. S. Huud [11]: 25 - 83).
Kalau mau menggantikan Nabi Nuh as., jangan pernah mengeluh dan harus punya track record yang hebat dalam berdakwah.

Nabi Ibrahim as. Hidupnya tidak pernah sepi dari cobaan. Beliau tidak lari dari tantangan. Menghadapi umatnya yang gemar menyembah berhala, Nabi Ibrahim as. Melakukan serangan yang langsung kepada pusatnya.
Beliau hancurkan berhala-berhala itu, dan ditantangnya mereka secara terbuka (Q. S. Al-Anbiyaa' [21]: 52 - 67). Nabi Ibrahim as. Kemudian berhadapan dengan seorang Raja, dan kekerasan hatinya tetap menjadi ciri khasnya. Terhadap raja yang merasa dirinya paling hebat, beliau ajukan tantangan: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat!" (Q. S. Al-Baqarah [2]: 258). Atas 'kenekadannya' , Nabi Ibrahim as. Diganjar hukuman dibakar hidup-hidup, namun Allah menyelamatkannya (Q. S. Al-Anbiyaa' [21]: 68 - 70). Sampai akhir hayatnya, Nabi Ibrahim as. Dikenal karena keteguhan hatinya untuk tetap berada dalam jalan yang lurus. Beliau tidak menolak ketika harus meninggalkan isteri dan anaknya di lembah tandus tak berpenghuni (Q. S. Ibraahiim [14]: 37), tidak juga protes ketika disuruh menyembelih Nabi Isma'il as (Q. S. Ash-Shaaffaat [37]: 102 - 107). Kalau mau menjadi pengganti Nabi Ibrahim as., minimal harus memiliki keteguhan seperti beliau. Buktikanlah dengan menentang kesesatan di tengah-tengah masyarakat secara terbuka, menasihati penguasa yang zalim secara terang-terangan, dan tidak boleh menolak tugas seberat apa pun dari Allah SWT.

Kalau mau jadi pengganti Nabi Isma'il as., berarti masa mudanya harus dipenuhi dengan prestasi memakmurkan rumah-rumah Allah dan membaktikan diri pada-Nya saja. Kalau mau menggantikan Nabi Yusuf as., maka harus bisa menyelamatkan negeri sendiri dari krisis ekonomi. Kalau mau menjadi pengganti Nabi Musa as., maka harus mampu memimpin umat untuk menghindar dari marabahaya. Kalau punya hasrat menjadi pengganti Nabi Daud as., mestilah memiliki keperkasaan yang unggul.

Nanti sajalah mempersoalkan masalah legalitas 'para nabi' setelah Sang Nabi Penutup. Sekarang pandanglah orang-orang yang mengaku nabi itu, dan tanyakanlah pada hati terdalam: "Apa pantas mereka menyebut dirinya sendiri nabi? Apa yang mereka miliki sehingga mampu menggantikan para Nabi dan Rasul terdahulu?"
I rest my case.

HIJRAH : MENUJU KEMENANGAN DIRI DAN UMAT

A. PENDAHULUAN
Tidak terasa tahun baru 1433 H telah tiba. Setahun sudah kita bergelut dengan waktu, di tahun 1432 H. Waktu laksana air yang mengalir ke hilir yang tak pernah lagi kembali ke hulu. Kadang ia membangkitkan gairah dan semangat, kadang ia melenakan kita. Kadang kita tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Oleh karenanya kita harus menghargai setiap kesempatan yang ditawarkan sang waktu, sebelum waktu ditarik dari kita, karena kesempatan tidak akan datang untuk kedua kalinya. Peribahasa Arab mengatakan “Waktu laksana kehidupan”, jika tidak mampu memanfaatkan waktu, maka seakan telah menyia-nyiakan kehidupan. Tahun Hijriah, ditetapkan pertama kali oleh Kholifah Umar bin Khattab ra, sebagai jawaban atas surat Wali Abu Musa Al-Asy’ari. Kholifah Umar menetapkan Tahun Hijriah untuk menggantikan penanggalan yang digunakan bangsa Arab sebelumnya, seperti Kalender Tahun Gajah, Kalender Persia, kalender Romawi, dan kalender-kalender lain yang berasal dari tahun peristiwa-peristiwa besar Jahiliyah. Kholifah Umar memilih peristiwa Hijrah sebagai taqwim Islam, karena Hijrah Rosululllah saw dan para sahabat dari Makkah ke Madinah merupakan persitiwa paling monumental dalam perkembangan dakwah. Professor Fadzlurahman menyebut Hijrah sebagai marks of the beginning of Islamic calendar and the founding of Islamic community. Oleh karenanya, penting mengambil hikmah dan pelajaran dari peristiwa Hijrah, baik individu, maupun umat.

B. NILAI-NILAI HIJRAH
1. Meluruskan Niat
 “Al-Muhajaroh” (Hijrah) sebagaimana dikatakan oleh Imam Ar-Raghib Al-Asfahani adalah keluar dari negeri kafir kepada negeri iman, sebagaimana para sahabat yang berhijrah dari Makkah ke Madinah. Dan Hijrah di jalan Allah itu, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Rasyid Ridho, harus dengan sebenar-benarnya. Artinya orang yang berhijrah dari negerinya adalah untuk mendapatkan ridho Allah dengan menegakkan agama-Nya yang merupakan kewajiban baginya, dan merupakan sesuatu yang dicintai Allah
Dalam sejarah, ada seorang sahabat yang berhijrah karena ingin menikahi Ummu Qois, bukan karena niat ikhlas taat kepada Allah dan Rosulnya. Maka Rosulullah saw bersabda :“Bahwasannya semua amal itu tergantung niatnya, dan bahwasannya apa yang diperoleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa yang hijrah karena Allah dan Rosulnya maka hijrahnya itu akan diterima oleh Allah dan Rosulnya, dan barang siapa yang hijrahnya, karena mencari dunia atau karena wanita yang akan nikahinya maka hijrahnya itu hanya memperoleh apa yang diniatkannya dalam hijrahnya itu. (HR Bukhori dan Muslim)
Hikmah yang harus kita ambil adalah bahwa segala aktifitas ibadah dan dakwah kita hanya semata-mata karena Allah, bukan karena yang lain, misalnya untuk mengisi waktu luang, atau sekedar nambah ilmu dan wawasan. Sehingga kita akan bersungguh-sungguh dalam ibadah dan dakwah ini.
2. Memahami bahwa Ketaatan Bukan Pilihan, Namun Kewajiban
Allah swt berfirman :Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : Dalam keadaan bagaimana kamu ini? Mereka menjawab, Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah). Para Malaikat berkata : Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? Orang-orang itu tempatnya neraka jahannam, dan jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali (Annisa 97).Ayat diatas turun sehubungan dengan kasus lima orang pemuda muslim yang bergabung dengan kafir Makkah, lalu mati mengenaskan di perang badar oleh pasukan kaum muslimin. Tempat mereka adalah neraka jahannam sebagaimana firman Allah di atas. Persoalan ini berkaitan dengan sikap mereka yang tidak mau berhijrah bersama Rosulullah dari Makkah ke Madinah. Mereka tidak mau mengerti akan makna hijrah sebagaimana yang dilaksanakan Rosulullah dan para sahabatnya yang setia dan taat. Mereka mengira bisa melakukan siasat dan strategi sendiri dengan cara menyembunyikan keislamannya dengan tetap bergabung bersama-sama kafir Qurasy. Padahal Allah dan rosulNya telah memerintahkan hijrah. Maknanya adalah ketaatan terhadap Allah dan rosulNya, adalah kewajiban yang harus dijalankan, bukan suatu pilihan.
3. Meyakini Pertolongan Allah swt.
Hijrah adalah rancangan dan strategi untuk melanjutkan perjuangan Dakwah Islam. Allah swt berfirman “Dan orang-orang yang beriman, berpindah dan berjuang di jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat perlindungan (kepada orang-orang yang berhijrah) dan memberikan pertolongan, itulah orang-orang yang sebenarnya beriman. Mereka beroleh ampunan dan rezeki yang berharga (Al-Anfal 74).Perjuangan yang dilalui Rosulullah dan para sahabat di Makkah tidaklah mulus dan ringan, tetapi jalan itu penuh onak dan duri, dan sangat berat sekali. Beliau dan kaum mukminin menerima berbagai cobaan, cercaan, teror, penyiksaan, propapaganda dan pembunuhan. Hal ini tidak hanya menimpa diri rosulullah, tetapi juga para sahabatnya. Kita tahu, kisah Bilal, keluarga Yasir (Yasir, Sumayah, Ammar bin Yasir), Abu Fakihah (budak Bani Abdid-Dar), Khabab bin Al-Art (budak Ummu Umar), dll. Daftar orang-orang yang disiksa karena mempertahankan agama Allah masih panjang. Bahkan Rosulullah dan para sahabat diboikot ekonomi selama tiga tahun, sehingga kekurangan pangan, kelaparan dan timbulnya penyakit. Bahkan diantara mereka ada yang menjadi syahidah sebelum peristiwa hijrah Nabi. Oleh karenanya Hijrah adalah salah satu pertolongan Allah untuk mengembangkan dakwah, setelah berjuang dengan sekuat tenaga, dengan sepenuh jiwa dan segenap hartanya.
 4. Menambah Kecintaan Terhadap Rosulullah
Peristiwa hijrah memberikan tauladan bagi kita, betapa para sahabat lebih mencintai rosulullah dibandingkan dengan dirinya sendiri. Ali bin Abi Tholib, menggantikan tempat tidur rosulullah ketika malam itu beliau berangkat Hijrah dan kita tahu konsekuensi apa yang akan ditanggung oleh sahabat Ali ra.. Sedangkan Abu Bakar, menyertai rosulullah dalam perjalanan hijrah dari Makkah ke Madinah. Al Bukhori meriwayatkan dari Anas, dari Abu Bakar, dia berkata : “Aku bersama Nabi saw di dalam gua. Kudongakkan kepala, dan kulihat kaki beberapa orang. Aku berkata, ‘Wahai Nabi Allah, andaikata mereka melongokkan pandangannya, tentu mereka akan melihat kita. Nabi saw berkata “ apa pikiranmu wahai Abu Bakar tentang dua orang, sedang yang ketiga adalah Allah”. Kekhawatiran Abu Bakar bukan sekedar tertuju pada nasib dirinya, tetapi yang paling pokok adalah kekhawatiran terhadap nasib Rosulullah.
Dalam hal ini dia berkata “Jika aku terbunuh, maka aku hanyalah seorang manusia, namun jika engkau yang terbunuh, maka umat tentu akan binasa. (Siratir-Rosul, SyaikhAbdullah Annajdy).

C. HIJRAH: MENUJU KEMENANGAN DIRI
Dalam tulisan ini penulis mengambil hikmah/ibrah dari referensi buku yang ditulis oleh  Stephen R. Covey The Eight Habits from Effectiveness to Greatness (2004) –selanjutnya disingkat The Eight Habit (The 8th Habits)– adalah buku berbicara tentang pola manajemen hidup melalui delapan kebiasaan yang telah dipraktikkan oleh para manajer dan pengusaha sukses di dunia. Buku ini merupakan kelanjutan dari buku terlaris di dunia yaitu The Seven Habits of Highly Effective People (The 7th Habits).
Buku ini menginspirasi banyak orang untuk menjadi pribadi yang efektif. Pribadi yang mampu memperoleh kemenangan diri setelah itu memperoleh kemenangan publik. Buku tersebut menjelaskan 8 (delapan) hal yang harus dilakukan manusia untuk mencapai kemenangan pribadi dan publik. 3 (tiga) hal/kebiasaan yang harus dilakukan adalah dengan merubah kebiasaan diri yang berdampak kepada diri sendiri.  Tiga Kebiasaan tersebut ialah:
Kebiasaan Pertama, Proaktif (Be proactive). Proaktif bukan sekadar berinisiatif. Proaktif berarti suatu keyakinan bahwa apa pun yang kita peroleh dalam hidup merupakan akibat pilihan respons kita sendiri. Kebiasaan pertama merupakan kesadaran bahwa antara stimulus dan respons terdapat ‘freedom to choose’. Allah berfirman dalam Surah Ar-Rad 13:11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”. Ramai orang berpikir bahwa ketidakbahagiaan mereka disebabkan karena apa yang terjadi pada diri mereka. Padahal yang sebenarnya adalah karena cara mereka memberi makna atas apa yang terjadi. Selalu ada pilihan untuk bereaksi secara positif terhadap situasi yang negatif. Kemampuan untuk memilih respons seperti yang dikemukakan di atas,merupakan fungsi dari kemampuan kita memanfaatkan karunia Allah berupa Furqon [berupa Al-Quran yang membedakan antara respons yang haq dan yang batil ], ‘independent will’ [kehendak bebas], ‘self awareness’ [kesadaran diri], ‘conscience’ [kata hati] dan ‘imagination’ [imaginasi]. Dengan kata lain, kitalah yang memprogramkan kehidupan kita sendiri.
Kebiasaan Kedua, Mulai dari yang akhir dalam pikiran (begins with the end in mind) Kebiasaan kedua adalah kebiasaan memiliki visi, misi dan tujuan. Kebiasaan ini menunjukkan arah dan cara menjalani hidup serta menentukan hal-hal yang penting dalam hidup. Islam mengajar pentingnya goal setting ketika Rasulullah Saw menyatakan setiap perbuatan yang tergantung niatnya. Kebiasaan bermula dan berakhir dalam pikiran mengajar agar kita menulis tujuan akhir hidup kita.
Kebiasaan Ketiga, Mendahulukan yang Utama (Put First things first). Mendahulukan yang utama merupakan kebiasaan yang menuntut integritas, disiplin dan komitmen. Allah berfirman dalam Surah Al-Mu’minun 23:1-3, “ Sungguh beruntung orang-orang mukmin, iaitu orang –orang yang khusyu’ dalam shalat mereka dan orang-orang yang berpaling dari perbuatan dan percakapan yang sia-sia ”, dan dalam Surah Al-Ashr 103:1-3, “ Demi masa sesungguhnya manusia dalam kerugian kecuali orang-orang beriman dan beramal shaleh, saling berpesan dengan kebenaran dan saling berpesan dengan kesabaran ”. Juga dalam Surah Al-Insyirah 94:7-8, “ Maka apabila engkau telah selesai [dari suatu urusan ], maka kerjakanlah [ urusan lain ] dengan bersungguh-sungguh dan kepada Tuhanmulah kamu berharap ”. Kebiasaan ketiga menekankan pentingnya memanfaatkan waktu.

D. HIJRAH: MENUJU KEMENANGAN UMAT
5 (lima) hal/kebiasaan yang harus dilakukan adalah dengan merubah kebiasaan diri yang berdampak kepada orang lain. Untuk memperoleh kemenangan umat hal yang harus dilakukan adalah dengan merubah kebiasaan diri yang berdampak kepada orang lain, Lima Kebiasaan tersebut ialah:
Kebiasaan Keempat, Berusaha Untuk Memahami Terlebih Dahulu-Baru [minta] difahami (Seek first to understand than to be understood). Kebiasaan kelima menunjukkan bahwa “ the secret of living is giving ” [ rahasia kehiduan adalah memberi ]. Rasulullah Saw bersabda bahwa tangan di atas lebih mulia daripada tangan yang di bawah. Allah berfirman dalam Surah Al-Zalzalah 99:7-8, “ Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarah, niscaya dia akan menerima balasannya dan barang siapa mengerjakan keburukan seberat zarah, niscaya dia akan menerima balasannya ” dan dalam Surah Ar-Rahman 55:60-61 “ Tiadalah balasan kebaikan, melainkan kebaikan pula, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ”. Juga dalam Surah Al-Baqarah 2:261, “ perumpamaan orang yang memberi di jalan Allah, adalah seumpama sebuah biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai berisi seratus biji, dan Allah melipatgandakan bagi siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas [ karunia-Nya ] lagi Maha Mengetahui.
Kebiasaan Kelima, Berpikir Menang–Menang (Thinks win-win). Berpikir menang-menang berasal dari karakter yang dicirikan dengan kejujuran [menyesuaikan kata dengan perbuatan], integritas [menyesuaikan perbuatan dengan kata], kematangan [keseimbangan antara ketegasan dan toleransi], dan mentalitas kelimpahan [keyakinan bahwa kurnia Allah tersedia tanpa batas bagi sesiapapun yang mengikuti sunnatullah (causality law’).
Kebiasaan Keenam, Wujudkan Sinergi (Sinergize). Bersinergi berarti keseluruhan lebih bernilai daripada jumlah bagian-bagiannya. Mengenai pentingnya bersinergi, Khalifah Ali bin Abi Thalib pernah berujar bahwa kebaikan yang tidak terorganisir dapat dikalahkan dengan kejahatan yang terorganisir. Yang harus diingat adalah agar dapat bersinergi setiap anggota memiliki lima kebiasaan di atas yaitu proaktif, Berpikir mulai dari akhir, mendahulukan yang utama, berpikir menang-menang dan berusaha memahami dahulu baru difahami. Allah Swt mengingatkan agar kita hanya bersinergi dalam melakukan kebaikan bukan dalam berbuat dosa dan permusuhan [ Al-Maidah 5:2 ].
Kebiasaan Ketujuh, Mengasah Gergaji (Sharpen the Saw). Rasulullah mengajar agar kita terus mengasah gergaji fisik, mental, sosial / emosional, dan spiritual ketika beliau bersabda: “Orang Islam adalah orang yng begitu sibuk memperbaiki diri, sehingga tidak memiliki waktu lapang untuk mencari-cari aib orang lain. Orang Islam adalah orang yang hari ini lebih baik daripada kemarin dan hari esok lebih baik darihari ini. Amal perbuatan yang paling disukai Allah adalah amal yang dilakukan terus-menerus walaupun sedikit ”.
Kebiasaan Kedelapan, Temukan Suara Anda dan Ilhami Orang lain Menemukan Suara Mereka (Find Your Voice and Inspire Others to Find Theirs). Kebiasaan ini mengajarkan bahwa seorang muslim harus menemukan suara hati mereka, mengapa mereka terpilih jadi menjadi aktivis dakwah, dan apa manfaatnya bagi dia sendiri dan umat? Sehingga pertanyaan tersebut menginspirasikan bagi setiap individu untuk bermanfaat bagi yang lainnya.
Kemampuan diri untuk menemukan suara (intuisi) diri tentunya dianugerahkan oleh Allah sejak lahir. Ketika seseorang berhasil meraih kemenangan diri sudah sepatutnya mereka menginspirasikan kepada yang lainnya untuk meraih kemenangan diri. Dengan demikian, individu tersebut dikategorikan sebagai teladan/inspirator. Sehingga tepat kiranya kata orang bijak, “Jika anda ingin sukses belajarlah dengan orang sukses”. Rasullullah Saw  bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah orang yang bermanfaat bagi orang lainnya” (HR. Muslim). Allah Swt berfiman dalam QS. Al-Imran (3): 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

D. PENUTUP
Peristiwa hijrah Rosulullah memang telah berlalu selama 1432 tahun namun makna dan semangat hijrah harus tetap tertanam dalam hati dan jiwa kaum muslimin. Kaum muslimin harus ”berhijrah” dengan memperbaiki diri kemudian menyeru orang lain untuk mencapai kemenangan pribadi dan umat. Semoga tahun yang akan datang tidak berlalu begitu saja. Wallohu a’lam bishshawab.

Menuju Dakwah Cerdas di Era Siyasi

A.    Pendahuluan
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (An-Nahl: 125)
Firman Allah di atas memberikan arahan khusus kepada da’I mengenai bagaimana berdakwah dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Hikmah yang diartikan secara bebas adalah dengan kebijakan, dengan hati, dengan makna yang terdalam. Pelajaran yang baik juga jika diartikan secara bebas ialah dengan metode, pendekatan, dan kurikulum terbaik. Dakwah kepada Allah merupakan amal shalih, sehingga seorang aktivis dakwah dalam mengerjakan tugasnya tidak boleh minimalis atau asal-asalan. Dakwah tidak boleh hanya bermodal keyakinan bahwa Allah pasti menolong dakwahnya tanpa optimalisasi diri dengan segala apa yang diberikan Allah. Sudah seharusnya seorang aktivis dakwah cerdas dalam menjalankan tugasnya, dan mengoptimalkan segala daya upayanya.
Dakwah bukan pekerjaan biasa, kerja sampingan, namun pekerjaan yang sangat mulia, oleh dari itu  menuntut perhatian khusus dan butuh manajemen yang baik. Dakwah kepada Allah merupakan pekerjaan yang agung. Sebab, yang memerintahkannya adalah Allah yang Maha Agung. Jika kita merenungi makna ‘ud’u ilaa sabiili rabbika (serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu)’,  hal ini mengisyaratkankan bahwa tugas dakwah adalah perintah langsung dari Allah swt.  Rasulullah saw yang mengemban risalah dakwah ini telah melaksanakannya dengan penuh kesungguhan dan memberikan segala daya upaya terbaik.
Kita menyadari bahwa berdakwah di jalan Allah pasti akan berhadapan dengan tantangan dan ujian yang sangat berat. Kalaulah kita mencoba untuk memahami hakikata kata ‘ilaa sabiili rabbika’, dalam hal ini menegaskan bahwa tugas utama ciptaan Allah yang dalam hal ini adalah manusia sebenarnya adalah mengikuti jalan Allah swt. Tetapi karena setan bekerja keras untuk membuat manusia tergelincir, akhirnya banyak dari manusia yang keluar dari jalan Allah.

Seorang aktivis dakwah yang cerdas hendaknya senantiasa berusaha untuk mengembalikan siapapun ke jalan yang benar. Tentu saja di sini maksudnya bukan hanya orang kafir, melainkan juga orang-orang Islam, bahkan untuk aktivis dakwah sekalipun tidak tertutup kemungkinan ada yang ikut juga tergelincir. Oleh karena itu, hal-hal utama dakwah selain mengislamkan manusia yang belum bersyahadat, meningkatkan keimanan orang-orang yang telah beriman, juga mengembalikan seorang muslim dan mu’min termasuk aktivis dakwah  ke porosnya yang benar. Untuk semua hal ini tentu saja sangat diperlukan langkah-langkah cerdas.

Untuk mengambil langkah-langkah yang cerdas memerlukan keberanian untuk menentukan  pilihan-pilihan. Terkadang menentukan pilihan memang sangat sulit, namun tentu saja pilihan tersebut harus tetap diambil oleh seorang yang diberikan amanah atau penanggung jawab dakwah. Terkadang ada pilihan yang harus dieksekusi perlahan-lahan seiring dengan berjalannya waktu. Namun sering kali keputusan yang harus diambil harus cepat dan tepat, terutama melihat eskalasi dakwah di era siyasi ini. 

Tulisan ini diharapkan menyajikan gambaran pilihan-pilihan yang ada dalam konteks dakwah  di era siyasi, sebagai bahan masukan dan diskusi untuk pihak-pihak yang terkait dan bertanggung jawab dalam dakwah tersebut.  Semoga Allah memberikan kemudahan bagi kita untuk melangkah dan tetap istiqomah dalam menapakinya! Aamin

B.     Kondisi Dakwah sekarang ini
a.      Pertumbuhan kader relatif tinggi;
Sejak dideklarasikan pada 20 Juni 2003 lalu, kader Partai Keadilan Sejahtera (PK Sejahtera) yang merupakan kelanjutan dari Partai Keadilan meningkat cukup fantastis yaitu sebesar  2000% (Tholhah Nuhin, staf departemen kaderisasi Dewan Pimpinan Pusat Partai Keadilan, dalam wawancara tgl 15 Juni 2003,  situs PK Sejahtera Jak-Sel).

Sebagai partai dakwah yang berbasis kader, PKS mengukuhkan diri untuk selalu konsisten merekrut kader-kader baru. Dengan merekrut kader-kader baru diharapkan dakwah semakin merata dan mampu menyentuh semua kalangan yang ada di masyarakat.

Bila tahun 2006-2007, PKS menargetkan pertambahan kader baru mencapai 300 ribu orang. Pada 2009, jumlah kader PKS ditargetkan bertambah hingga tiga kali lipat dari jumlah kader yang ada saat ini (situs PK Sejahtera)

Kenaikan jumlah kader dakwah pada rentang 1999 s.d. 2007 di atas tentu saja perlu dievaluasi apakah pembinaan dan penataan telah dilakukan dengan  baik dengan perangkat-perangkat yang cukup agar pada akhirnya setiap kader memiliki ruang untuk mengembangkan potensi dan  memberikan kontribusi terbaik.

Sekarang ini (tahun 2007), jumlah kader PKS mencapai 712.000 orang. Dibandingkan 2004, kader PKS hanya sekitar 400.000, ditargetkan pada 2009 mampu bertambah hingga 1,2 juta kader (Wawancara dengan Tiffatul Sembiring, Koran SINDO 10 Desember 2007)

Dengan pencapaian target sebanyak 1,2 juta kader, dakwah harus lebih menyiapkan diri dengan perangkat-perangkat sistemik. Agar kader yang ada tidak menjadi beban bagi dakwah, dan dakwah yang dilakukan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kader dan masyarakat yang didakwahi. Perlu dipahami bersama bahwa semakin banyak SDM akan terdapat kemungkinan bertambahnya permasalahan yang akan muncul dipermukaan. Jika tak segera diselesaikan maka akan menjadi ”bom waktu” pada masa yang akan datang.

b.      Dakwah telah masuk ke lembaga-lembaga  pemerintahan.
Dakwah yang semula dilakukan di mimbar-mimbar melalui ceramah-ceramah, halaqoh dan majelis taklim, dewasa ini sudah masuk ke dalam perundang-undangan atau setidak-setidaknya isu Islami sudah pernah menjadi wacana dalam pembahasan rancangan undang-undang di parlemen dan atau pemerintahan. Tercatat terdapat 45 (empat puluh lima) da’i kita yang bertugas untuk berdakwah di parlemen dan 3 (tiga) menteri di Kabinet Indonesia Bersatu.
           
Dengan keberadaan mereka diharapkan message dakwah yang selama ini belum menyentuh dunia politik dan pemerintahan akhirnya sampai, memberikan pencerahan dan akan menyebabkan perpolitikan dan pemerintahan menjadi lebih berwarna. Para da’i di Parlemen dan pemerintahan diharapkan dapat menjadi pioneer-pioner dakwah yang dapat istiqomah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
 
c.       Target dakwah telah terukur dan dituangkan dalam visi misi yang jelas.
Visi dan misi dakwah telah tertuang dalam visi dan misi Partei Keadilan Sejahtera. Visi dan misi tersebut adalah:

c.1. Visi
Visi Umum:   Sebagai Partai Da'wah Penegak Keadilan Dan Kesejahteraan Dalam Bingkai Persatuan Ummat Dan Bangsa.
Visi Khusus:  Partai Berpengaruh Baik Secara Kekuatan Politik, Partisipasi, Maupun Opini Dalam Mewujudkan Masyarakat Indonesia Yang Madani.
Visi ini akan mengarahkan Partai Keadilan Sejahtera sebagai :
1.      Partai da'wah yang memperjuangkan Islam sebagai solusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
2.      Kekuatan transformatif dari nilai dan ajaran Islam di dalam proses pembangunan kembali umat dan bangsa di berbagai bidang.
3.      Kekuatan yang mempelopori dan menggalang kerjasama dengan berbagai kekuatan yang secita-cita dalam menegakkan nilai dan sistem Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
4.      Akselerator bagi perwujudan masyarakat madani di Indonesia.

c.2. Misi
1.      Menyebarluaskan da'wah Islam dan mencetak kader-kadernya sebagai anashir taghyir.
2.      Mengembangkan institusi-institusi kemasyarakatan yang Islami di berbagai bidang sebagai markaz taghyir dan pusat solusi.
3.      Membangun opini umum yang Islami dan iklim yang mendukung bagi penerapan ajaran Islam yang solutif dan membawa rahmat.
4.      Membangun kesadaran politik masyarakat, melakukan pembelaan, pelayanan dan pemberdayaan hak-hak kewarganegaraannya.
5.      Menegakkan amar ma'ruf nahi munkar terhadap kekuasaan secara konsisten dan kontinyu dalam bingkai hukum dan etika Islam.
6.      Secara aktif melakukan komunikasi, silaturahim, kerjasama dan ishlah dengan berbagai unsur atau kalangan umat Islam untuk terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan wihdatul-ummah, dan dengan berbagai komponen bangsa lainnya untuk memperkokoh kebersamaan dalam merealisir agenda reformasi.
7.      Ikut memberikan kontribusi positif dalam menegakkan keadilan dan menolak kedhaliman khususnya terhadap negeri-negeri muslim yang tertindas.
(Situs PK Sejahtera.Online)
Dengan adanya pernyataan visi dan misi yang jelas tersebut, dakwah yang dilakukan dapat lebih terarah dengan demikian diharapkan langkah-langkah yang dilakukan tidak keluar dari visi misi yang telah ditetapkan tersebut.

C.     Kebutuhan Masa Depan: ”Menentukan Pilihan”
Yang kita perlukan pada masa depan adalah segera membuat pilihan-pilhan strategis untuk menjadikan dakwah ini lebih optimal. Pilihan-pilihan tersebut sekurang-kurangnya ialah:
a.      Mengubah Paradigma;
1.      Saya orang baru disini Vs Saya sudah beberapa tahun/bulan disini
Sering kali kita menemukan ada ikhwah pada suatu wilayah tidak bekerja secara optimal dengan alasan yang bersangkutan adalah orang baru di wilayah tersebut, dan belum mengenal medan. Padahal dakwah tidak boleh berhenti satu hari pun. Ingat ketika dakwah berhenti tiga hari pasca wafatnya rasulullah terjadi kondisi-kondisi sebagai berikut:
a.      Munculnya nabi palsu
b.      Adanya pihak yang menolak membayar zakat
c.       Hilangnya ketakutan dihati kaum Rowawi,
(taujih kaderisasi DPP PKS Th 2003)
Bukan saatnya lagi mendikotomikan antara orang lama dengan orang baru, siapapun dapat berkontribusi sesuai kemampuan masing-masing pada waktu dan tempat ia diperlukan.


2.      Saya berdakwah di satu tempat saja Vs Saya berdakwah dimanapun dibutuhkan.
Pemisahan penugasan seseorang berdasarkan ruang lingkup yang sempit, misalnya alasan geografis tempat tinggal, tempat kerja, almamater dan lain sebagainya merupakan lagu lama yang perlu untuk dievaluasi kembali. Seharusnya dakwah seseorang tidak mempertimbangkan geografis ataupun segmen tertentu namun mempertimbangkan analisis beban kerja yang bersangkutan dan kebutuhan di wilayah domisili ikhwan yang bersangkutan.

3.      Saya bukan orang Struktural Vs Saya berdakwah karena da’i
Semua ikhwah tentu memaklumi jika setiap yang terbina, secara otomatis ia merupakan kader dakwah yang siap untuk bekerja dalam kondisi senang maupun susah. Ungkapan ”Nahnu Dhu’at Qobla Kulla Syai’ie” merupakan kata kunci untuk menyemangati kita dalam dakwah. Untuk berkontribusi tidak butuh jabatan struktural dan atau gelar-gelar kemuliaan dalam dakwah.

4.      “Orang Lama Pengatur, Orang Baru Pengikut” Vs “Siapa saja dapat mengambil Posisi, dan mengeksekusi kebijakan sesuai kompetensi dan Kapasitasnya”   
Tidak ada senioritas dalam berdakwah, sudah sepatutnya setiap al akh dapat berani mengambil keputusan jika memang keputusan tersebut merupakan wewenangnya.  Ada sebuah pepatah arab yang berbunyi: ‘Keutamaan bagi yang jujur (shadaq)’; lawannya adalah  ‘Keutamaan bagi yang duluan/awalan (shabaq)’

Ikhwan fillah, kalau kita mencontoh risalah kenabian kita mengenai imam sholat. Kita ketahui bahwa yang berhak menjadi imam adalah orang yang paling baik bacaan dan hafalan qur’annya dilingkungannya, bukanlah orang yang paling tua/senior. Demikian pula mas’ul dalam safar adalah seorang yang terbaik agama-nya dan mampu memimpin. Bukanlah seorang yang paling sepuh.


b.                  Mengubah Manajerial;
Setelah kita melakukan perubahan paradigma, selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mengubah manajerial dalam dakwah. Secara manajerial pilihan-pilihan yang muncul adalah:
1.      Manajemen dengan “Hubungan Baik” Vs Manajemen dengan “Sistem”
1.1.  Manajemen dengan Hubungan baik
Karakteristik manajemen dengan hubungan baik;
    1. Kedekatan menjadi pertimbangan utama agar suatu pekerjaan dapat dilakukan dengan baik
    2. Membangun loyalitas kepada individu tertentu bukan loyalitas kepada sistem
    3. Fleksibilitas sangat tinggi agar  semua SDM merasa happy. 

1.2 Manajemen dengan Sistem
Karakteristik manajemen dengan sistem;
a.      Sistem menjadi pertimbangan utama agar suatu pekerjaan dapat dilakukan dengan baik.
b.      Membangun loyalitas kepada sistem  bukan loyalitas kepada individu tertentu .
c.       Fleksibilitas diatur oleh sistem agar  setiap SDM mendapatkan keadilan  dan perlakuan yang setara. 

2.      Manajemen “Memanfaatkan” Vs Manajemen “Memposisikan”
2.1. Manajemen dengan Memanfaatkan
Karakteristik:
a.      Menempatkan posisi SDM tanpa dasar yang kuat
b.      Memanfaatkan kelebihan SDM pada suatu pekerjaan, kemudian ditinggalkan begitu saja setelah pekerjaan selesai.
c.       Memberikan pekerjaan berdasarkan subjektivitas
2.2. Manajemen dengan Memosisikan
Karakteristik:
a.      Menempatkan posisi SDM sesuai dengan kapasitasnya.
b.      Mengembangkan potensi SDM pada suatu pekerjaan, kemudian memberikan peluang untuk mengembangkannya.
c.       Memberikan pekerjaan berdasarkan ukuran dan keseimbangan kerja.

3.      Manajemen “Intruksional” Vs Manajemen “Memahamkan”
3.1. Manajemen Intruksional
Karakteristik:
a.      Pekerjaan dibuat sesuai dengan selera yang memerintahkan.
b.      Hasil dari suatu  pekerjaan lebih penting dibandingkan memberikan pemahaman atas suatu pekerjaan.
c.       Membatasi informasi milik publik hanya kepada orang/jalur yang disukai.
3.2. Manajemen Memahamkan
Karakteristik:
a.      Pekerjaan dibuat sesuai dengan kebutuhan.
b.      Pemahaman atas suatu  pekerjaan dan prosesnya lebih penting dibandingkan dengan hasil pekerjaan itu sendiri.
c.       Memberikan Informasi milik publik kepada pihak-pihak yang berhak dan perlu mengetahuinya.

4.      Manajemen  “Elitis” Vs Manajemen “Taat Aturan”
4.1. Manajemen Elitis
Karakteristik:
a.      Tidak ada aturan baku  yang memandu pekerjaan.
b.      Kebijakan telah diputuskan di kalangan elit setelah itu dibicarakan untuk meminta kesepakatan.
c.       Aturan telah dibuat namun tidak dilaksanakan secara konsisten.
4.2. Manajemen Taat aturan
Karakteristik:
a.      Menyusun pedoman aturan baku  guna memandu pekerjaan.
b.      Sebelum kebijakan diputuskan, kebijakan tersebut dibicarakan terlebih dahulu secara garis besar kepada stake holder yang berkepentingan.
c.       Aturan yang dibuat diterapkan secara konsisten.

5.      Manajemen  “Agitasi & Propaganda” Vs Manajemen  “Mendidik dan Melatih”
5.1. Manajemen  “Agitasi & Propaganda”
Karakteristik:
a.      Memformat dan mempublikasikan suatu kegiatan lebih penting dibandingkan substansi pekerjaannya.
b.      Membesar-besarkan keberhasilan diri  dan meniadakan keberhasilan pihak lain (yang  dianggap tidak satu ide/ kompetitor).
c.       Mengulang-ulang dan menyiarkan keberhasilan/merasa puas diri, serta menutup rapat-rapat kekurangan-kekurangan. 

5.2. Manajemen  “Mendidik dan Melatih”
Karakteristik:
a.      Mengutamakan dan menyampaikan substansi, memformat dan mempublikasikan suatu kegiatan dakwah sesuai  dengan substansinya.
b.      Menganggap keberhasilan adalah hal yang biasa, belajar dari keberhasilan orang lain, dan membantu orang lain untuk mencapai keberhasilan.
c.       Meningkatkan  kerja dengan mengambil pelajaran dari keberhasilan  dan  kegagalan. 

c.       Mengubah Cara kerja;
Setelah membangun manajerial, maka selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengubah cara kerja kita dalam berdakwah. Cara kerja dalam hal ini adalah:
1.      Reaktif Vs Sistematis konsepsional
“Kebenaran yang tidak terorganisir dapat dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir” (Sayyidina Ali Ibnu Abi Thalib)
Sudah saatnya dengan kemampuan dan potensi yang kita miliki, merubah kerja kita yang tadinya reaksioner menjadi kerja-kerja yang mempunyai konsepsi yang lebih baik dengan menggunakan perspektif manajemen modern.
Sudah saatnya kita tidak hanya membicarakan masalah tetapi juga membicarakan solusinya. Janganlah kita membicarakan masa lalu tanpa mengambil pelajaran untuk membuat rencana di masa depan. Tidak perlu mencari siapa yang salah atau membicarakan orang yang membuat kesalahan namun jadilah kita orang yang meyirami api dengan air yang kita miliki walaupun air itu  hanya segayung saja.

2.      Insidensial (Dadakan) Vs Terprogram
Kerja pada masa lalu yang semula bersifat dadakan atau sekedar menunggu perintah, diubah menjadi kerja-kerja yang benar-benar terprogram dengan baik. Program yang memaksimalkan potensi SDM dan wilayah. Menggabungkan keseluruhan antara potensi wilayah, kebutuhan wilayah serta SDM-SDM potensial yang dimiliki.

Mengukur keberhasilan secara ilmiah dengan KPI (Key Performance Indikator) yang memadai. Sehingga output yang dihasilkan dapat terukur dan dapat dievaluasi sebaik-baiknya.

3.      Inisiatif Seseorang (atau Kelompok) Vs Kesepakatan bersama
Partisipasi seluruh kader sangat diharapkan untuk mengerjakan banyak hal: “Tangan Allah bersama Jama’ah” (Al hadits).

Kerja dengan mengutamakan kepentingan bersama merupakan kerja yang memberikan kenyamanan dan dapat dinikmati oleh seluruh pelakunya. Sudah saatnya kita merubah suatu kerja dakwah yang seakan-akan hegemoni seseorang atau kelompok tertentu  menjadi kerja dakwah yang dapat menjadi kerja yang disepakati bersama, mulai dari menetapkan input, proses hingga sampai dengan outputnya. Tentu saja hal ini memerlukan keikhlasan dan kesatuan hati para pelakunya serta dengan  menghilangkan sikap egoistis (ananiyah) dan kepentingan pragmatis.

Sudah saatnya kita berupaya dan berlomba-lomba untuk mencapai “kalimatun sawa” diantara kader untuk menggapai keberkahan yang Allah janjikan. Keberkahan yang akan mencerahkan wajah, pikiran dan hati. Sesulit apapun suatu kerja, senyuman tetap akan terkembang karena hati-hati yang bekerja penuh dengan mahabbah dan keridhoan satu sama lain terhadap apapun hasil pekerjaan itu. Insya Allah.