Selasa, 10 Januari 2012

Memberdayakan Masyarakat


A. Pendahuluan
Sebagaimana kita maklumi bersama terdapat beberapa orbit atau lapisan di dalam dakwah, yaitu: Aktivis Dakwah, Pendukung Dakwah, dan Simpatisan Dakwah.  Masing-masing lapisan harus dikelola dengan baik agar dakwah yang diusung berhasil dengan baik, efektif dan efisien (muntijah). Pengelolaan tersebut tentu saja memerlukan perangkat-perangkat dan sarana-sarana yang memadai.
Kader terbina dalam hal ini aktivis dakwah dan pendukung dakwah sudah memiliki manhaj yang baku dan sudah diterapkan sejak lama dan bertaraf internasional. Namun sampai dengan saat ini dakwah (di Indonesia?) belum memiliki “manhaj” yang bersifat baku terkait dengan bagaimana mengelola simpatisan dakwah yang berada di dalam majelis-majelis ta’lim.  Setiap da’I dan atau pembina majelis ta’lim biasanya melakukan ijtihad fardi’ untuk menjaga dan mempertahankan ghiroh dari anggota majelis ta’lim atau simpatisan dakwah yang dikelolanya. Terkadang Ijtihad fardi tersebut berhasil “mempertahankan kejayaan” sebuah majelis ta’lim namun sering kali ditemukan justru Ijtihad tersebut tidak dapat diterapkan atau ijtihad tersebut tidak berkembang seiring perkembangan waktu. Alhasil muncul kejumudan di antara anggota majelis ta’lim, dan pada akhirnya satu demi satu anggota hilang berganti yang baru atau dalam banyak kasus menyusut hingga tersisa beberapa gelintir orang saja.
Sesuai dengan uraian di atas, terlepas dari sunnatullah atau seleksi alam dengan berkurangnya jumlah anggota majelis ta’lim/pendukung dakwah, sudah sepatutnya kita sebagai da’I mencari cara-cara baru dengan mengoptimalkan kembali pintu-pintu kreativitas dan dinamika dakwah dalam mengelola lapis ketiga ini. Perlu dikembangkan pendekatan-pendekatan baru untuk lebih mendekatkan mereka kepada dakwah. Jika kita bersungguh-sungguh- Insya Allah sesuai janji Allah- selalu ada jalan keluar yang akan kita peroleh.
 
B. Permasalahan
Permasalahan umum yang terjadi di majelis ta’lim yang dikelola secara garis besar ada dua, yaitu kendala Internal dan Eksternal. Selanjutnya dua kendala dimaksud dapat diuraikan sebagai berikut:

1.      Kendala Internal
      Kendala-kendala yang muncul antara lain: pribadi da’I, madh’u dan kendala minimnya sarana dan perangkat pembinaan.
a.      Kendala Da’I
Kendala yang berasal dari da’I umumnya terjadi dari dua hal penting, yaitu masalah kafa’ah dan egoisme seorang manusia. Kendala kafa’ah yang dimaksud disini jika dikerucutkan lebih dalam umumnya adalah masalah kurangnya kafa’ah syar’iyah dan atau manajerial sang da’i. Sudah jadi pengetahuan umum kalau mayoritas aktivis dakwah adalah berpendidikan kampus umum. Terkadang kita temukan aktivis kampus memahami ilmu manajemen, namun tidak memiliki kafaa’h syar’i, sehingga walau secara manajerial majelis ta’lim terkelola dengan baik namun secara keilmuan majelis ta’lim tersebut mengalami stagnasi.  Atau sebaliknya, ada yang lulusan kampus agama dan memiliki kafa’ah syar’i yang memadai, seluruh ilmu-ilmu yang terkait dengan ilmu syar’i tertransfer dengan baik, namun pada umumnya sering kali  kegiatan sang madh’u tidak berkembang karena sang da’i tidak  mampu mengelola majelis ta’limnya dengan baik. Satu hal yang sangat sulit dibayangkan adalah jika diantara da’i tersebut tidak memiliki keduanya, sudah kafa’ah syar’inya lemah, masih ditambah pula dengan kafa’ah manajerialnya yang tidak memadai. Tentu saja hal ini tidak boleh terjadi.

Satu hal yang menarik lainnya adalah masalah ego manusia, hal ini memang sulit dihindarkan, karena da’i juga manusia. Seiring dengan berjalannya waktu, sering kali tanpa sadar sang da’i menebarkan dakwah lewat pesona dirinya bukan melalui kebenaran yang disampaikannya. Hubungan yang intensif tentu saja memunculkan ikatan hati antara da’i dengan madh’unya. Dengan adanya keterikatan hati antara madh’u dengan sang da’i. Sang Madh’u merasa relatif telah menemukan kenyamanan dalam Islam melalui diri da’i. Sehingga menjadikan sang da’i seolah-olah figur dan menjadi referensi satu-satunya buat sang madh’u. Muncullah loyalitas tunggal madh’u kepada da’i perlahan tanpa disadari.

Hal-hal di atas jika tidak segera diantisipasi dan diredam oleh sang da’i, dapat menyebabkan sang da’i seakan-akan membiarkan loyalitas sang madh’u tidak kepada dakwah lagi tetapi kepada diri da’i sendiri. Ketaatan hanya kepada individu bukan kepada sistem yang disusun sedemikian rapi. Dalam kondisi ini, Lambat-laun, da’i seperti sedang dan akan membangun kerajaan dakwah bersama anggota majelis ta’limnya.


b.     Kendala Madh’u
Latar belakang masyarakat yang berbeda-beda menyebabkan diperlukan pemahaman dan kebijakan yang super ekstra bagi da’I dalam menerapkan fiqhul waqi dan awlawiyatuddakwah  sehingga fleksibilitas dakwah dapat terjaga. Kalau kita mengenal ada istilah da’I “sejuta umat”, maka kita harus siap menjadi da’I “sesuka umat”, yang maksudnya adalah selalu siap untuk memberi dalam kondisi umat seperti apapun. 

Dengan kondisi madh’u yang berbeda-beda latar belakang tentu saja terdapat dinamika yang terus berkembang bagi da’i dalam dakwahnya. Contoh adalah majelis ta’lim yang dikelola oleh Da’I di perumahan tentu memiliki karakter anggota yang berbeda dengan majelis ta’lim yang dikelola di perkampungan, ataupun di lingkungan pasar. Madh’u pada kondisi tersebut tentu saja ingin mendapatkan Islam sesuai dengan apa yang merasa mereka butuhkan dan sesuai dengan wawasan mereka, dan tentu saja kebutuhan tersebut secara individu berbeda antara satu dengan lainnya. Dengan dinamika ini menyebabkan da’I perlu terus belajar dan siap untuk berjibaku dengan hal-hal ‘baru’ dan ‘paling tak terduga’ sekalipun yang akan menghiasi lika-liku perjalanan dakwahnya.

c.       Kendala sarana dan perangkat pembinaan
Dengan perbedaan latar belakang madh’u dalam majelis ta’lim, sering kali mengakibatkan pendekatan dan perangkat pembinaan yang dilakukan berbeda-beda antara satu majelis ta’lim dengan yang lainnya. Perbedaan latar belakang pendidikan dan ekonomi madh’u merupakan satu hal yang paling mendasar terkait dengan penyediaan perangkat dan sarana dakwah bagi madh’u. Membaca buku dan browsing internet mungkin dapat dilakukan oleh sebagian madh’u tapi akan menjadi sesuatu yang langka bagi sebagian besar madh’u lainnya. Ada majelis ta’lim yang punya jadwal rihlah ke luar kota secara rutin, tapi ternyata masih ada juga majelis ta’lim yang untuk menghadiri kegiatan saja masih harus dijemput anggotanya satu demi satu karena memang tidak ada kendaraan atau ongkos perjalanan.

Selain itu memang belum ada stándar baku, bagaimana sang da’i seharusnya mengelola majelis ta’limnya. Dalam kondisi lapangan yang menuntut segala sesuatu yang da’i berikan harus sederhana, jelas dan terkadang instan, membuat feeling seorang da’i harus lebih diandalkan dibandingkan dengan kemampuan logikanya. Pada akhirnya ‘pengalaman medan’ dan ‘jam terbang’ seorang da’i sangat besar pengaruhnya dalam mengarahkan pendapat dan sikap anggota majelis ta’lim terhadap suatu permasalahan.

2.      Kendala Eksternal
Kendala yang muncul akibat dari sosio kultural masyarakat. Secara umum kendala eksternal ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a.      Lingkungan Dakwah
Lingkungan dakwah perlu dipertimbangkan dalam pengembangan suatu majelis ta’lim. Dewasa ini kita menemukan keberadaan majelis ta’lim yang berbasis pada masjid, pengajian dalam suatu RT/RW, dan pada kesamaan profesi. Kendala yang sering kali ditemui dalam konteks ini adalah terkait dengan masalah penerimaan mayoritas masyarakat sekitar lingkungan/profesi kepada keberadaan majelis ta’lim tersebut.

Tidak ada masalah jika masyarakat sekitar sudah religius dan menerima perbedaan dalam beragama. Tetapi akan menjadi masalah jika anggota majelis ta’lim merupakan kelompok yang sedikit, ditambah lagi jika  terdapat anggotanya yang “anti sosial” alias jarang bergaul dengan masyarakat sekitar, atau mungkin lingkungan tersebut lebih mengenal hal-hal negatif tentang anggota majelis ta’lim yang mengikuti pengajian tersebut. Selain itu adanya kekhawatiran masyarakat akibat adanya pemberitaan media massa belakangan ini mengenai adanya aliran sesat, pengajian eksklusif dan sebagainya.

b.     Legalitas ‘Formal’
Di dalam Hukum, majelis ta’lim memang tidak memerlukan badan hukum seperti layaknya Yayasan atau Koperasi. Legalitas formal yang dimaksud di sini adalah sejauh mana aktivitas majelis ta’lim yang diselenggarakan dipayungi oleh wadah yang tidak bertentangan dengan hukum. Atau setidak-tidaknya kegiatan majelis ta’lim yang dilakukan terlindungi karena melibatkan masyarakat yang lebih luas jaringannya dan atau banyak anggotanya yang  memahami permasalahan hukum dan hak-hak kemanusiaan lainnya.

Perlu dicatat juga, pada tataran majelis ta’lim yang masih baru atau kondisi fikroh yang belum terbentuk, tentu saja kita tidak dapat begitu saja menyatakan bahwa majelis ta’lim yang dikelola oleh ikhwah tesebut sebagai TRP atau  TRK-nya PKS. Karena akan diperlukan argumentasi yang mendalam bagi da’i atau pembina majelis ta’lim untuk menjelaskan hal tersebut kepada anggota majelis ta’limnya.

Terkait dengan legalitas formal sebagaimana dimaksud di atas, dalam kondisi sekarang yang relatif kondusif bagi dakwah memang belum ada permasalahan signifikan yang terjadi. Namun tidak tertutup kemungkinan pada masa mendatang terjadi kondisi fitnah dan ujian bagi dakwah dimana masa itu diperlukan sandaran hukum atau pengakuan masyarakat. Oleh dari itu sepertinya perlu dirumuskan kembali mulai sejak dini dan sekarang juga bagaimana cara memberikan alibi atau jawaban jika pada kini atau masa mendatang dalam hal terdapat pihak-pihak yang bertanya: “Ini majelis ta’lim/pengajian apaan ya?” atau “ini aliran apa sih?”

C. Solusi
Setiap pekerjaan memerlukan suatu konsepsi yang jelas. Membangun suatu komunitas yang solid memerlukan suatu perencanaan yang jelas. Strategi yang perlu dirumuskan adalah:

1.      Membangun visi da’i bagi pembina majelis ta’lim
a.      Terbentuknya da’i-dai yang visioner.
b.      Terciptanya Iklim dakwah yang sehat.
c.       Tersedianya data SDM da’i dan anggota majelis ta’lim.
d.     Adanya sharing informasi dan kerja sama di antara sesama penggiat majelis ta’lim.
2.      Pengembangan dan Penumbuhan Dakwah yang Sistemik,  dengan tujuan:
a.      Tertatanya struktur fungsional dalam dakwah yang terintegrasi dengan wajihah lain.
b.      Berkembangnya forum kajian ilmiah/tsaqofiah dan jejaring majelis ta’lim.
c.       Terciptanya hubungan yang saling menguntungkan antara struktural partai dengan majelis ta’lim.
3.      Pendayagunaan potensi anggota majelis ta’lim, dengan tujuan:
a.      Tumbuh dan solidnya struktur kepengurusan forum majelis ta’lim.
b.      Berkembangnya kafaah yang dimiliki anggota majelis ta’lim.
c.       Terlaksananya komunikasi dan koordinasi yang baik dalam setiap pelaksanaan kegiatan antara seluruh elemen dalam forum.
d.     Menyiapkan SDM majelis ta’lim yang siap diterjunkan mewarnai masyarakat

D. Tahapan Kerja
1.      Mendata Majelis ta’lim yang dikelola Ikhwah
2.      Membentuk Forum Majelis Ta’lim
Fungsi:
a.      Fasilitator; memfasilitasi kegiatan dakwah amah di Masyarakat.
b.      Koordinator; merencanakan dan mengarahkan.
c.       Starter; memulai aktivitas dakwah yang benar-benar baru dan original.
3.      Melakukan Konsolidasi Forum
a.      Staffing: perwakilan dari setiap majelis ta’lim;
b.      Melakukan pertemuan rutin;
c.       Melakukan diskusi dan memperkaya referensi.
4.      Melakukan analisis  dan menyusun Konsep Kegiatan
a.      Melakukan SWOT Analisis;
b.      Menyusun Renstra;
c.       Menyusun kerja jangka pendek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar