Selasa, 10 Januari 2012

DAKWAH STRUKTURAL: VINI VIDI VICI

A. PENDAHULUAN
Dakwah melalui jalur struktural merupakan suatu keniscayaan dalam dakwah di abad ini. Tak ada kerja yang sukses jika dilakukan sendirian karena sudah menjadi sunnatullah dan sunnah rasul, manusia tidak bisa hidup dan bekerja sendirian. Semua perlu diorganisasikan sesuai dengan konsep manajemen modern. Hal itu bisa diwujudkan jika masing-masing aktivis dakwah melaksanakan konsep manajemen dengan baik dan bekerja sesuai tugas pokok dan fungsinya.

Ada atau tidak struktur kerja dakwah, kita semua sudah menyadari betapa pentingnya kerja berjamaah di era  ini. Struktur dibuat agar jama’ah dapat digerakkan oleh imam atau qiyadah yang menempati struktur tertinggi dalam jama’ah dakwah.  Tentu saja digerakkan oleh qiyadah dengan hak dan tanggung jawab yang sudah sedemikian jelas di atur oleh organisasi dan dilaksanakan dengan optimalisasi sistem dan prosedur dalam manajemen dakwah.

Ruang lingkup tulisan ini adalah membahas semua fenomena-fenomena yang terjadi di dalam dakwah struktural, baik di dakwah jalur politik, dakwah kampus, dakwah kantor dan mungkin dakwah kampung. Fenomena-fenomena yang terjadi pada setiap jenis lahan dakwah sejatinya adalah serupa tapi beda tipis. Banyak permasalahan yang terjadi pada suatu medan dakwah yang juga terjadi pada medan lainnya dengan beberapa sedikit modifikasi.

Tulisan ini merupakan suatu otokritik dengan harapan kita bersama-sama menyadarinya, dan pada akhirnya bersama-sama pula bertobat untuk kembali ke jalan yang benar. Insya Allah...

FENOMENA DAKWAH STRUKTURAL
  1. Mengapa Dakwah Struktural tidak berjalan optimal?
Sering kali kita menemukan betapa sepinya Sekretariat LDK, Sekretariat Masjid, Markaz Dakwah, atau pusat pergerakan. Kemanakah gerangan para pengurusnya?Bukankah seharusnya ada jadwal piket?Memangnya rapat rutin bidang atau biro tidak berjalan?

Terlalu banyak alasan yang dapat dipilih dan diutarakan jika hanya sekedar menghindar dari hiruk pikuk pergerakan. Apapun dapat dinilai syar’i jika penilaiannya diserahkan kepada kita yang sedang lemah semangat (atau iman lagi lemah?). Fortunately (untungnya) Saudara kita selalu berhusnudzon kepada kita atas setiap ketidakhadiran yang sudah menggunung.

Husnudzon saudara kita kepada kita untuk mencari seluruh alasan yang ada di muka bumi ini atas ketidakhadiran kita semoga akan menyadarkan kita agar senantiasa  menjaga semangat dan untuk seterusnya tidak lagi membuka ruang-ruang bagi syaithon membuka pintu suudzon-nya saudara seiman kepada diri kita.

Berdasarkan analisis penulis atas fakta-fakta empiris yang terjadi dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa kondisi yang bisa jadi membuat sepinya dakwah, Diantaranya:   
    1. Terlalu banyak tugas? tak fokus?
Bisa jadi kerja-kerja dakwah yang sudah direncanakan atau yang sudah dikerjakan sudah terlampau banyak. Melebihi kapasitas (isti’ab) dari para pelakunya. Satu, dua, atau tiga bahkan lebih pekerjaan mungkin bisa dipikul oleh sebagian aktivis. Tapi mungkin kader lain bisa saja jadi ’keder’ karena hanya bisa menanggung amanah satu pekerjaan. Satu, dua, atau tiga bahkan lebih pekerjaan mungkin bisa dilakukan dengan fokus oleh sebagian orang. Tapi mungkin aktivis lain hanya bisa fokus dengan hanya memegang amanah satu pekerjaan saja. Solusi yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kapasitas dakwah (Isti’ab da’awi) para aktivis dakwah melalui pelatihan atau dawroh-dawroh baik manajerial maupun kafaah-kafaah tertentu yang  terkait dengan kebutuhan dakwah.

Permasalahan yang menjadi fenomena umum terkait dengan masalah isti’ab ini adalah ketika seseorang diamanahi satu amanah saja sudah terjadi ketidak-fokusan apalah lagi jika harus menanggung amanah lebih dari satu! Kalimat permaklumannya adalah ”Ya, iyalah ana kan senin s.d. jumat sibuk ngurusin kerja kantor mencari nafkah, berangkat pagi pulang malam.” Lalu jika ditawarkan tugas Sabtu atau Ahad, jawaban yang mungkin terucap adalah ”afwan akhi, Sabtu dan  Ahad kan hari keluarga, menjenguk orang tua, rihlah bersama anak, menghadiri undangan di luar sana dan sebagainya.” Dengan kondisi seperti itu, jika semua aktivis dakwah berpendapat yang sama, terus siapa yang akan mengerjakan tugas-tugas dakwah yang ada?
   
    1. Pembagian tugas tak jelas dan tak merata, muncullah  single fighter...
Jika kita melakukan survey secara tepat dan benar terkait dengan kebutuhan masyarakat akan dakwah ini, sungguh akan kita temukan betapa banyaknya tugas dakwah yang kita harus lakukan di masyarakat. Idealnya kerja-kerja yang dibuat  memang harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat berdasarkan analisis dan fakta empiris. Misalnya: dalam suatu analisis/fakta empiris diperkirakan ada 10 kegiatan yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat, sementara ada 30 kader yang berdomisili di wilayah tersebut.
Secara sederhana kita akan membagi kader yang bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan yang ada. Misalnya 6 kader menangani 2 kegiatan.  Jangan sampai terjadi pembagian tugas yang timpang. Contoh: dari 30 kader yang ada, yang mau bekerja sehingga terlatih untuk bekerja hanya ada 5-6 kader saja (biasa disebut 4L; lu lagi lu lagi...), sisanya 25 an orang, disebut ”Bani Afwan” (sering tidak kerja, bilang Afwan melulu) atau Ashhabul Rukhsoh (minta dimaklumi selalu!). Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan 10 tugas itu? 6 kader mengerjakan semua tugas yang ada! Atau ekstrimnya 1 aktivis  dakwah mengerjakan sendiri satu tugasnya: sendirian! Terus konsep amal jama’i bagaimana? Terus kemana saja konsep ukhuwah yang digembar-gemborkan selama ini? Ke laut? Sungguh merupakan keajaiban dunia jika ada da’i single fighter yang mampu seorang diri melaksanakan suatu tugas dakwah yang sedemikian berat.   

Tak dapat dipungkiri, memang fenomena ketidakjelasan tugas dan tanggung jawab sering ditemukan dalam suatu medan dakwah, selain penyakit lainnya seperti: aktivis kehilangan semangat untuk berdakwah, sebagian aktivis (mungkin) kena penyakit wahn, atau tarbiyahnya mungkin juga kurang optimal. Solusi untuk ini tentunya adalah bagaimana memberikan kesadaran kepada semua aktivis untuk mengikatkan (positioning) diri ke dalam satu tugas yang ada di wilayah dakwahnya. Setelah mengikatkan diri, terserah qiyadah untuk membagi pekerjaan sesuai dengan kapasitas masing-masing. Jangan ada kapasitas da’i yang tersia-sia karena tidak digunakan untuk dakwah demi kemaslahatan umat.

  1. ”Banyak Anak= Banyak Rejeki, Banyak Aktivis= Banyak Masalah?”
Banyak aktivis dakwah tentunya mimpi bagi semua aktivis dakwah.  Namun dengan semakin banyaknya aktivis dakwah maka diperlukan pengaturan-pengaturan yang lengkap. Jangan sampai ada ketidakaturan dalam alokasi dan pemungsiannya yang dapat menyebabkan aktivis yang ada seperti barang rongsokan yang dinilai karena jumlah berat/kilo-annya bukan karena fungsi yang seharusnya diemban. Beberapa hal yang perlu diatur antara lain adalah:

a.       Pengaturan peran dalam kepemimpinan struktural; pepatah ”rambut sama hitam, pendapat belum tentu sama.”

Sudah kita maklumi bersama bahwa Islam hanya mencetak dua jenis orang yaitu ”orang hebat” dan ”orang yang sangat hebat.” Dengan itu maka dakwah Islam adalah dakwah yang mencetak ”pemimpin umat” dan mencetak ”bukan sembarang umat (bagi yang belum memimpin).” Sudah pasti sebagai seorang qiyadah dakwah kita ingin memposisikan calon pemimpin umat itu dengan posisi yang paling tepat, yaitu posisi  paling bermanfaat buat umat.

Dengan banyaknya amanat dakwah tentu akan banyak kawah candradimuka yang bisa kita jadikan sebagai sarana praktik kerja lapangan/ magang para calon pemimpin kita. Dengan memposisikan calon pemimpin kepada amanah yang jelas dan tegas, maka potensi konflik dengan calon pemimpin lain akan dapat dieliminir. Karena tidak ada dua orang berwatak pemimpin di wazhifah/wajihah  yang sejenis.

   
b.      Pengaturan peran dalam amal dakwah: “Bukan pengangguran fi sabilillah, tapi ashhabul musykilah”
Selain masalah kepemimpinan, hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana mengatur peran dalam amal dakwah. Suatu amal dakwah mungkin ada yang disukai oleh mayoritas, namun ternyata ada juga suatu amal dakwah yang hanya disukai oleh minoritas aktivis dakwah. Supaya adil idealnya ada pengaturan oleh qiyadah bagaimana untuk menentukan bahwa setiap amanah pada medan dakwah  tertentu benar-benar diemban oleh aktivis yang berpotensi (berbakat) dan menyukai bidang tugasnya itu (berminat). Memang akan jadi PR besar bagi qiyadah untuk mencocokkan bakat dan minat dengan tugas dakwah yang ada mengingat selera manusia terkadang sulit ditebak.
Dengan menimbang dua hal di atas sebenarnya tidak perlu lagi ada sebutan ”pengangguran fi sabilillah” bagi aktivis dakwah  yang tidak mau kerja. Karena bisa jadi masalahnya tidak hanya berasal dari individu yang bersangkutan tetapi mungkin juga karena qiyadah belum menanyakan kepada mereka: ”Akhi, Antum bisanya apa dan mau kerja dimana?” atau mungkin karena ada permasalahan internal aktivis dakwah (musykilah) yang belum mendapat perhatian atau  diselesaikan oleh qiyadah seiring dengan perjalanan dakwah. 

c.       Pengaturan peran dalam akses struktural: Informasi yang tak valid, Informasi jadi tidak bermanfaat bahkan malah jadi musingin.

Sebagai jama’ah manusia memang nilai rasa menjadi pertimbangan tertentu dalam memutuskan sesuatu. Salah satu nilai rasa itu adalah kedekatan atau  ’akses’. Akses menjadi sangat penting dalam hubungan antara individu, apalagi antara jundi dengan qiyadah. Sebagai jamaah dakwah dapat dimaklumi sisi manusiawi qiyadah yang akan lebih mendengar perkataan orang dekatnya walaupun kurang berbobot dibanding dengan mendengar dari pihak lain walaupun mungkin bobotnya lebih baik.

Hal yang penting yang perlu kita selesaikan adalah bagaimana qiyadah benar-benar dapat mengatur akses-akses struktural sedemikian rupa sehingga informasi yang masuk benar-benar valid (dari sumber tepercaya) dan bermanfaat bagi umat.  Tentu masalah akses ini adalah hak prerogatif seorang qiyadah dakwah di level manapun, namun demikian kita tentu wajib memberikan informasi yang lebih baik kepada qiyadah, jika pihak yang memiliki akses sudah tidak layak lagi menjadi seorang penyampai informasi.

  1. ”Afwan Ana Sibuk Akhi.”...dan masalah pun tak pernah terselesaikan.
Berkali-kali kita mungkin mengalami satu  atau lebih permasalahan yang dari jaman dulu kala tidak pernah selesai. Masalah yang disebut dengan masalah klasik yang mungkin sudah ada sejak dakwah zaman para nabi. Masalah apalagi kalau bukan ’menyiasati kerja dakwah’ supaya tidak tertunda, karena kader yang bertanggung jawab atas kerja dakwah menyatakan dirinya sebagai ”makhluk penuh kesibukan.” Bicara kesibukan, setidaknya ada tiga fenomena yang terkait dengan masalah tersebut:
a.       Yang sibuk tak memberi solusi... yang lain tak siap mengganti.
Kesibukan menjadi alamiah ketika memang kondisi nafkah seorang aktivis dakwah   menuntut seperti itu. Masalahnya adalah ketika semua masalah yang menjadi bagian dari suatu amanah dakwah jadi mengambang tak jelas arah penyelesaiannya. Buntu. Tak ada solusi. Tak jarang pihak yang sibuk tidak menyiapkan alternatif solusi atas ketidakhadirannya/ketidakmampuannya untuk menyelesaikan suatu amanah. Hal ini diperparah lagi ketika tidak ada suatu mekanisme untuk menyiapkan siapa pengganti jika ada satu atau dua aktivis dakwah yang berhalangan untuk melaksanakan tugasnya (halangan tetap/tidak tetap). Seorang qiyadah idealnya tidak hanya beretorika dan mencari permakluman karena permakluman saja tidak dapat menyelesaikan masalahnya, yaitu: ”siapa yang akan melaksanakan amanah dakwah tersebut?” 

b.      ”Rapat out of schedule (rapat gelap)” /atau  ”Rapat resmi (rapat terang)” sama saja, karena sama-sama tak ada yang hadir!
Rapat atau koordinasi memang mahal. Barang yang satu ini juga bagian dari jenis temuan yang langka dalam suatu struktur dakwah. Betapa susahnya pertemuan-pertemuan struktural dapat lengkap dihadiri oleh semua aktivis dakwah yang memegang amanah. Alasannya sama seperti di atas: ”Sibuk”. Bayangkan jika rapat koordinasinya saja tidak final, mungkinkah suatu kerja dapat berjalan maksimal? Tentu akan ada catatan disana-sini. Alhamdulillah dengan adanya kemajuan teknologi kekurangan ini dapat diminimalisir misalnya melalui e-mail, handphone, chatting, Facebook dan mungkin teleconference. Walaupun kita berharap mekanisme pertemuan rutin dapat selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari suatu kerja organisasi.
  
c.       Dakwah Tergantung Musim: Musim ”kalo ditaklimat” dan Musim ”Kalo lagi semangat”
Dakwah di masa kini menurut sebagian aktivis disebut dakwah musiman. Tidak 100% benar memang, namun dakwah di era siyasi ini menjadi salah satu yang memperkuat sinyalemen itu. Sebenarnya keberadaan taklimat rutin dari tahun ke tahun tidak hanya terbatas dalam konteks dakwah siyasi, namun sepertinya ’bobot’ taklimat dirasa  lebih kental nuansanya di musim pemilu. Karena memang saat itu seakan ’percepatan’ sedang dilakukan untuk mencapai tenggat dan target suara Pemilu/Pilkada.
Satu hal lagi yang memperkuat dakwah itu musiman adalah bisa dilihat dalam grafik  kerja seorang kader. Contohnya: Bulan Ramadhan, bulan semangat. Saat itu program dakwah lengkap, ibadah yaumiyah mencapai target. Tetapi setelah Ramadhan, sering kali terjadi setidaknya semua aktivitas dakwah libur dulu 3-4 pekan setelah Idul Fitri. Pada akhirnya setelah itu dakwah kembali menggeliat walau  geliatnya seakan kembali seperti sedia kala (alias kurang greget).    


  1. ”Berpendapatlah Akhi, Berargumentasilah”. Karena Diam tidak selalu berarti Emas..

Idealnya memang kita menemukan seorang aktivis dakwah yang pandai menjaga lisannya alias sedikit berbicara banyak bekerja sesuai hadits Arbain: ”...berbicara yang baik atau diam.” Namun tentunya kadar bicara yang sedikit itu artinya sebanding dengan kebutuhan majelis untuk mendengar pendapat/argumentasi seorang aktivis dakwah dalam rangka kerja dakwah. Suatu argumentasi yang sebanding dan dibutuhkan oleh dakwah di medan dakwahnya. Bukan seorang aktivis dakwah yang karena sangat sedikitnya berbicara menyebabkan timbul ketidakjelasan visi, misi dan konsepnya. Apalagi jika ia berperan sebagai seorang qiyadah pemegang amanah dakwah pada masa kini dan  mendatang. Repotnya lagi jika aktivis dakwah ini memegang amanah yang di dalamnya terkandung ’hajat’ hidup orang banyak. Serba lamban, tidak jelas kemauan, dan cenderung menunggu ”tekanan publik” untuk bekerja. Hal ini hanya akan membuat semakin banyak kerja dakwah yang terbengkalai, yang dapat berakibat lemahnya manuver dakwah atau mungkin saja menjadi penyebab adanya aktivis yang berguguran di jalan dakwah.

Beberapa fenomena yang terjadi di atas kurang lebih terwakili dalam beberapa pernyataan/tindakan di bawah ini:

    1. ”Pendapat antum ana tulis dulu. Ana akan pertimbangkan dulu. Tunggu saja.”
    2. ”Pendapat ana tidak sama dengan pendapat antum, tapi tidak bisa ana sampaikan saat ini.”
    3. Ana tak punya pendapat lain tapi ana tidak setuju dengan pendapat antum.
    4. Diam saja ketika mendengar pendapat atau usulan dari yang lain tanpa ada pernyataan menolak atau setuju.

Dari beberapa  pernyataan tersebut akibat yang akan diterima adalah tertundanya aktivitas dakwah. Idealnya memang tipe kepemimpinan seperti ini hanya cocok untuk menangani organisasi milik pribadi, namun tidak cukup layak untuk menangani suatu organisasi dakwah yang berdampak kepada kepentingan yang sangat luas.

  1. ”Wahai qiyadah, jangan berdiri dari atas menara... turunlah ke bawah...”

Dengan segala hormat kepada para qiyadah yang ada pada semua level, bahasan ini tidak ditujukan  kepada qiyadah yang telah ikhlash memenuhi amanahnya. Bahasan ini tidak juga ditujukan untuk pada level tertentu dan di wilayah tertentu. Bahasan ini hanya untuk kita semua calon pemimpin dan mengingatkan kita untuk sejauh mana mengukur seberapa SMART (Specific, Measurable, Achivable, Reasonable, dan Timelines ) kerja kita dihubungkan dengan tujuan yang hendak kita capai.
Sebagai pihak yang menanggung amanah kepemimpinan, seorang qiyadah tentu saja tidaklah ditunjuk sembarangan. Ada mekanisme yang dibuat sedemikian rupa untuk memperoleh seorang qiyadah yang mumpuni. Namun demikian sebagai seorang manusia seorang qiyadah tetap memerlukan  nasehat dari pihak yang ’mencintainya’ atau mungkin ’oposisi’ sekalipun. Mungkin hanya tiga nasehat sederhana yang perlu dicamkan oleh siapapun yang memegang amanah kepemimpinan ini, yaitu:  
    1. Jangan  memerintahkan suatu kerja dakwah (yang bersifat umum) kepada aktivis  dakwah  lain bila tugas itu  belum pernah dilakukannya sendiri.
    2. Jangan  menetapkan target-target kepada aktivis dakwah suatu target dakwah yang tidak realistis atau  ia sendiri belum pernah mencapai target itu.
    3. Dalam hal-hal tertentu perlu turun kebawah mencari second opinion, jangan hanya mendengarkan laporan dari akses tertentu  yang mungkin saja dapat berlaku salah atau khilaf dalam menyampaikan laporan.

  1. Ada Anggota legislatif di Balik Dakwah.
Sesuai dengan perluasan orbit dakwah, merupakan hal yang lumrah terdapat wakil-wakil dakwah di setiap lini, termasuk di dalamnya lembaga legislatif. Setidaknya sudah ada sekitar 2000 lebih aktivis dakwah yang duduk di parlemen pusat maupun daerah. Terkadang kita berlebihan dalam harapan dan perlakuan kepada mereka seakan mereka adalah ’Superman”. Sangat berharap bahwa anggota legislatif itu seorang yang benar-benar politisi, bisa membuka akses sumber daya, dan menjadi corong utama di masyarakat.  Memang sebagai manusia, ada yang memiliki konsep dan kinerja yang baik. Tanpa diminta mereka telah memberikan apa yang bisa mereka lakukan, tapi tak jarang ada juga yang konsep dan kinerjanya di bawah standar, tak ada sense of crisis atau sekedar upaya untuk berempati kepada permasalahan yang ada di medan dakwah lain/kepentingan publik. Untuk menyikapi itu sebenarnya ada beberapa kalimat kunci agar kita berlaku fair kepada anggota legislatif kita:
    1. Tugas Anggota legislatif adalah sama dengan tugas aktivis dakwah lainnya, hanya fungsinya saja yang berbeda. Kita tidak bisa setiap saat melibatkan mereka dalam tugas-tugas struktural karena memang fungsinya sudah berbeda.
    2. Jangan membebani anggota legislatif  sesuatu tugas yang di luar tugas pokok dan fungsinya. Idealnya ada suatu nota kesepahaman antara anggota legislatif dengan struktur terkait apa saja aktivis medan dakwah yang bisa dibantu oleh anggota legislatif yang masih dalam lingkup tugas pokok dan fungsi mereka. Hal ini agar anggota legislatif mendapat perlakuan yang proporsional dan adanya pola hubungan yang jelas.
    3. Membantu sebagaimana kita membantu ikhwah lainnya dalam pelaksanaan tugas dakwah. Sesuai nota kesepahaman dimaksud di atas, bidang-bidang yang ada di struktural juga diharapkan dapat membantu anggota legislatif untuk memenuhi tugas pokok dan fungsinya. Komunikasi dapat dilakukan secara intensif sesuai dengan pola hubungan yang telah disepakati.

  1. Bagai pegagan tumbuh di batu, Berinisiatif  segan tak mau pula bantu.
Sebagai bisnis akhirat, kerja dakwah memang lebih banyak membutuhkan inisiatif dibandingkan taklimat dari qiyadah. Taklimat lebih merupakan kebijakan umum dan lintas sektoral, sedangkan dalam pelaksanaan lapangan memerlukan banyak improvisasi dan seni. Dakwah sebagai solusi umat akan sulit sepertinya terealisir jika aktivisnya hanya menunggu taklimat pekanan saja. Rasanya sudah saatnya kita membuat suatu kiat-kiat agar tidak tersisa aktivis dakwah yang kehilangan inisiatif, contohnya: dengan pelatihan atau on the job training. Ataupun jika masih tersisa juga aktivis yang tak punya inisiatif perlu terobosan khusus, misalnya bisa dibuat suatu kesepakatan bersama  seperti:  
a.       Aktivis dakwah yang belum memiliki tugas dakwah bantulah yang lain, atau
b.      Carilah kerja dakwah yang belum dikerjakan aktivis  lain, atau
c.       Yang sudah ada kerja dakwah ajaklah aktivis yang lain bekerja.

Bagaimana jika kesepakatan itu tidak dapat juga terlaksana?mudah saja, infak majelis haruslah lebih banyak!   

MENUJU DAKWAH STRUKTURAL YANG HAYAWI

Dakwah hayawi disini adalah dakwah yang menghidupkan. Baik umat yang didakwahi ataupun para aktivis dakwahnya. Masalahnya adalah bagaimana agar dakwah ini selalu hidup dan bisa dinikmati oleh para pemangku amanah?Tentu ini sebuah pertanyaan besar yang jawabannya serba relatif. Terkadang bagi seseorang atau bagi wilayah dakwah tertentu hanya perlu jawaban sederhana, singkat, jelas dan padat. Namun sebaliknya ada yang memerlukan jawaban detil, kompleks dan sedikit berbelit-belit.

Dari kacamata umum, ada beberapa kondisi agar dakwah ini selalu hidup dan mengidupkan (hayaa wall ihyaa), cerah dan mencerahkan (hudatan wal muhtadiin):

  1. Menghindarkan Aktivis Dakwah dari Kejenuhan
Sebagai manusia, aktivis dakwah bisa juga jenuh dan mengalami masa-masa berkurangnya semangat. Entah karena kondisi yang itu-itu saja ataupun merasa  tidak adanya/kurangnya tantangan dalam suatu medan dakwah dakwah . Untuk mengatasi kondisi ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan:
a.       Rekomposisi rutin
Untuk memberikan nuansa hati yang berbeda rekomposisi rutin bisa jadi merupakan satu pilihan yang bijak. Dengan rekomposisi ini dapat memberikan tambahan wawasan dan teman-teman baru yang lebih dapat memberikan semangat berislam dan berdakwah.

b.      Tour of duty
Selain rekomposisi, untuk memberikan suasana hati dan kerja yang berbeda, dapat dilakukan melalui tour of duty (perpindahan tugas) dari suatu medan dakwah ke medan dakwah yang lain. Tour of duty  dapat memberikan tambahan pengalaman kerja dan latihan baru yang dapat lebih menguatkan ketsiqohan kepada jamaah dan dakwah.

  1. Pembagian tugas kepada aktivis dakwah dalam kerja yang lebih terarah  pada kerja-kerja tarbawi maupun kerja-kerja struktural
Aktivis dakwah tentunya harus aktif bekerja untuk menunaikan amanah dakwah yang diemban dan permasalahan umat yang diusung. Namun untuk mempekerjakan seorang aktivis dakwah tentunya diharapkan bahwa kerja-kerja itu sesuai dengan potensi yang dimiliki dan diringi kemauan aktivis dakwah itu sendiri.
Melihat potensi seseorang memang bukan suatu perkara mudah namun yang tentu nya tidak lebih lagi adalah bagaimana mengetahui mau-nya seseorang. Namun demikian dengan asumsi tugas dan fungsi seorang murobbi telah dilaksanakan dengan baik, beberapa hal dibawah ini dapat dilakukan.

a.       Murobbi merekomendasikan bidang apa yang cocok bagi mutarobbinya sesuai dengan potensinya.
      Murobbi sebagai penanggung jawab tarbiyah seorang binaan dapat merekomendasikan kepada binaannya untuk bekerja pada suatu wilayah kerja dakwah yang dianggap cocok bagi dirinya setelah mempertimbangkan potensi aktual yang dimilikinya. Idealnya adalah ada lebih dari satu pilihan untuk memuaskan sisi-sisi kemanusiaan sang binaan. Binaan  tentu dapat memilih satu di antara pilihan-pilihan yang ada.

b.      Mutarobbi dapat juga memilih kerja dakwah yang disukainya.
      Jika murobbi sebagai penanggung jawab tarbiyah tidak dapat memberikan  rekomendasi kepada binaannya dan tidak juga mampu memberikan pilihan-pilihan kepada sang binaan. Binaan  menentukan sendiri kerja dakwah yang disukainya.

  1. Merencanakan aktivitas dakwah yang mencerdaskan
Hal lain yang dapat dilakukan untuk menghidupkan kerja dakwah adalah merancang suatu kerja dakwah yang mencerdaskan. Mencerdaskan disini adalah adanya tambahan ilmu, pengalaman dan wawasan yang akan membentuk suatu kepribadian yang tangguh sebagai calon pemimpin dakwah di masa yang akan datang. Parameter yang umum untuk menilai hal tersebut adalah:
    1. Aktivitas dakwah menjadikan aktivisnya bertambah ilmu pengetahuan  (Knowledge) dan keterampilannya (Skill).
Aktivitas dakwah hendaknya selalu memicu aktivisnya untuk selalu belajar guna memenuhi amanah dakwah yang diembannya. Belajar disini bisa berarti aktivis dakwah sebagai subyek dakwah (penyeru) atau bisa juga bertindak sebagai obyek dakwah (yang diseru). Banyak membaca dan banyak berlatih untuk memenuhi hasrat dan hajat hidup umat bisa merupakan salah satu pintu untuk mencapai tujuan itu.
    1. Aktivitas dakwah menjadikan aktivisnya bertambah wawasan (Know-how)dan pengalamannya (Know-why).
Aktivitas dakwah hendaknya selalu memicu aktivisnya untuk selalu mengambil pelajaran dari fenomena yang ada yang akan mendewasakannya. Kedewasaan yang tumbuh seiring bertambahnya wawasan dan pengalaman hidup yang dapat diserap dan ’dinikmati’ sepanjang perjalanan dakwah yang dilaluinya.


  1. Membuat aktivitas dakwah yang mensejahterakan
Kondisi ini bukan berarti mengkomersilkan dakwah menjadi harga/tarif-tarif tertentu atau aktivitas menjual ayat qur’an. Yang dimaksud dengan dakwah yang menyejahterakan adalah dakwah dapat memberikan solusi ketika terdapat aktivisnya yang mengalami permasalahan ekonomi dan atau mengalami permasalahan kesehatan. Idealnya dalam aktivitas yang dilakukan juga terdapat fungsi-fungsi untuk menyelesaikan permasalahan kesejahteraan ini. Permasalahan yang jika digarisbawahi menjadi dua:
  • Aktivitas dakwah menjadikan aktivisnya bertambah penghasilan dan jaringan ekonomi.
  • Aktivitas dakwah menjadikan aktivisnya menjadi lebih sehat dan kuat.


Banyak kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan, misalnya bagaimana belanja seluruh aktivis dakwah hanya mengalir kepada jaringan aktivis dakwah juga. Atau mungkin bagaimana sampah rumah tangga para aktivis dakwah dapat dikelola oleh para aktivis dakwah yang lain, atau bagaimana seluruh kebutuhan hidup aktivis dakwah  dapat dikelola oleh aktivis dakwah yang lainnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar