Selasa, 10 Januari 2012

AL AKH ASH SHODIQ: LANGKA TAPI NYATA…




A. PENDAHULUAN
Al Akh Ash shodiq Laa budda ayyakuuna murobbiyan. Seorang Akhi yang jujur tiada lain dia adalah seorang Murobbi. Murobbi semakin dibutuhkan  di masa sekarang ini. Mengapa? Setelah era reformasi ini bergulir masyarakat sekarang semakin bertambah cerdas, kritis, dan menjadi pencari kebenaran hakiki. Semua yang mereka cari sebenarnya dapat ditemukan semuanya di dalam sunnah nabawiyah dan kalamullah. Masalahnya adalah siapa yang mau menjadi penyampai sunnah nabi dan firman Allah itu? Kyai, Ustadz, Ajengan, Tuan Guru, Mubaligh? Betul, hanya belum lengkap. Mengapa? Karena sering kali yang terbayang di masyarakat kita kalau memanggil seorang penceramah adalah harus menyiapkan dana: puluhan, ratusan, bahkan jutaan. Tergantung kelas sang penceramah kelas elit atau alit, kelas ‘rakyat jelata’ atau ‘rakyat jelita.’ 
            Pengalaman pribadi penulis ketika mendatangi pengurus DKM (Dewan kemakmuran masjid/musholla) di suatu kampung di daerah Jakarta beberapa belas tahun lalu terkait dengan program menghidupkan Ramadhan (Ihyaau Ramadhan). Penulis dkk berkunjung ke salah satu musholla. Setelah bincang-bincang panjang lebar, pada akhirnya kami menanyakan kepada DKM mengenai kegiatan di musholla selama Ramadhan. DKM menjawab hanya sholat tarawih saja, tidak ada kultum, tadarus atau apapun. Mendengar hal itu kami menyatakan bersedia untuk mengisi Kultum Ramadhan di masjid/musholla tersebut. Reaksi dari pengurus diluar dari dugaan kami, dengan sedikit agak malu-malu salah seorang pengurus DKM bertanya “tarifnya berapa ustadz?”Dengan agak terkejut, kami serta merta menjawab “gratis pak, sama sekali kami tidak meminta balasan apapun.” 
Jika mengingat kisah itu, terbayang betapa banyak masjid/musholla yang tak memiliki dana tak mendapatkan pencerahan kitabullah dan sunnah rasulullah dari orang-orang yang seharusnya. Jangankan hari dan bulan biasa, di hari dan bulan ramadhan saja sunyi senyap dari hiruk pikuk keagamaan. Dan yang lebih mengenaskan lagi, peristiwa itu terjadi di Jakarta! Jakarta yang paling padat saja populasi “ustadznya” saja terjadi hal seperti itu, gimana di daerah pinggiran dan atau  pelosok? Lalu gimana solusinya? Intinya jika kita ingin membina umat, butuh ustadz yang tidak hanya sekedar mengajarkan ilmu, atau seorang mubaligh yang tidak sekedar mennyampaikan ayat atau hadits. Yang kita butuhkan adalah kita butuh pembina umat bak laksana ayah kepada anak-anaknya, seorang syaikh kepada murid-muridnya, atau seorang komandan kepada pasukannya. Model kayak gini biasanya disebut “Murobbi”.   
Kata ‘Murobbi’ atau MR juga pertama kali penulis kenal belasan tahun lalu di awal era 90an.  Mulanya agak aneh juga menggunakan istilah ini! Sempat mikir juga, ngapain sih susah amat menyebut ustadz dengan Murobbi. Mirip-mirip dengan ”Robbi” yang artinya ‘Tuhanku’ gitu.., gak syirik apa ya nyebut-nyebut kata itu! Maklum aja namanya juga saat itu masih “anak baru gede (ABG)”. Pada era-era awal itu kata Murobbi begitu sakti mandraguna, soalnya anak-anak rohis itu jika menyampaikan suatu kebijakan Rohis sering kali menggunakan tambahan satu kalimat:”ini sudah di putuskan sama yang di atas, sama para Murobbi.” Ketika satu kata itu disebut selesailah sudah diskusi seseru apapun.  Saat itu semua kebijakan terasa akan belum afdhol kalau tidak ada tambahan kalimat itu. Masalah yang rumit bagi kami waktu itu juga akan selesai jika sang pembawa informasi bilang “Murobbbi sudah bilang begini dan begitu…”

B. AKTIVIS DAKWAH DULU, SEKARANG, DAN AKAN DATANG

Saat ini kita mencoba merangkai kembali kata ”Mu”, ”Rab”, dan ”Bi” dengan makna dan hakikat yang sebenarnya. Sering kali ditemukan bahwa ada banyak perbedaan antara semangat aktivis dakwah jaman ‘baheula’ dengan aktivis dakwah di era ’kiwari’ ini. Semangat untuk mencari ”binaan”. Semangat untuk merambah daerah baru, dan semangat untuk menjadi Murobbi. Tidak adanya tiga hal itu menyebabkan pertumbuhan jumlah murobbi amatlah lambat. Jika menggunakan istilah matematika, seakan Murobbi tumbuh bagaikan deret hitung, sedangkan kebutuhan umat akan murobbi seakan bagai deret ukur.

1.      Aktivis  jaman dulu
Saat dakwah ini muncul pada awal pertama kali, kita sering melihat betapa semangatnya para pendahulu kita melaksanakan berbagai kegiatan untuk menyebarkan dakwah ini ke masyarakat umum dengan berbagai macam cara. Mungkin karena dulu masih sedikitnya aktivis dakwah yang ada, hal itu  menyebabkan soliditas dan semangat lebih terjaga dan lebih termotivasi untuk melakukan kerja.
Syahdan ketika Syaikh Mutawalli Sya'rawi menyampaikan pidatonya dalam suatu acara, bahwa amanah umat ini teramat berat. Karena kompleksitas masalah yang dihadapinya. Dan disertai penghalangnya dari musuh-musuh umat yang tidak pernah henti untuk menghancurkannya. Disamping itu kader dakwah yang memandu amanah ini sulit untuk didapatkan. Maka kepada siapa amanah umat ini diserahkan?. Hasan Al Banna bergumam dalam hatinya ketika mendengar ceramah sang Syaikh, 'aku ingin, akulah orangnya yang akan mengemban amanah itu. Beginilah sikap aktivis dakwah yang brilian dalam menyambut tugasnya.
Beberapa kondisi yang sering ditemukan pada awal-awal dakwah adalah sebagai berikut:
a.      Rebutan lahan dakwah/binaan
Memang kondisi ini agak menggelikan jika terjadi sekarang-sekarang ini. Tapi faktanya hal ini pernah terjadi pada masa lalu. Seorang pembuka lahan dakwah akan marah jika ada aktivis lain memasuki ’lahannya’ tanpa ”seizin” dirinya. Atau seorang murobbi mewanti-wanti binaannya bahwa kalau sudah ikut ta’lim (liqo) sama murobbi yang bersangkutan jangan ikut ta’lim (liqo) sama yang lain.
b.      Mencari binaan sampai ”ke ujung dunia”
Sedikitnya aktivis dakwah menyebabkan dimanapun membina tidak jadi soal. Sering kita temukan ada murobbi yang berdomisili di luar kota punya binaan di ujung-ujung kota atau sebaiknya yang tinggal di kota punya binaan di pelosok-pelosok kampung. Aktivis dakwah di luar Jawa masih merasakan kondisi seperti ini sampai saat ini.
Pada jaman dulu sampai ada kata ’menculik’ untuk ngajak ngaji seorang binaan. Kata ’culik’ disini maksudnya adalah melakukan ta’lim di luar wilayah setempat karena domisili masing-masing anggota ta’lim relatif berjauhan.


c.       Mau ngajak ”ngaji” semua orang
Aktivis dakwah jaman lalu menebar jaring dimana-mana, siapapun ingin dijadikan binaan. Dari masyarakat terpelajar sampai ”makhluk kurang ajar.” Dari kalangan necis sampai khalayak ’kumis’ (kumuh dan miskin). Semua sarana dimanfaatkan untuk menggapai impian membina masyarakat.


2.      Aktivis Sekarang*)
Abul 'Ala Al Maududi mengingatkan para aktivis dakwah yang merupakan kader-kadernya, 'bila kalian menyambut tugas dakwah ini tidak sebagaimana sikap kalian terhadap tugas yang menyangkut urusan pribadi kalian maka dakwah ini akan mengalami kekalahan yang telak. Oleh karena itu sambutlah tugas ini dengan ghairah'. Amatlah tepat taujih Abul 'Ala Al Maududi ini bila melihat sederetan tugas dan harapan umat. Bila saja kader dakwah memahami dengan betul maka mereka akan berupaya untuk menjaga keghairahannya agar tidak pernah redup sedikitpun. Karena ia akan berakibat fatal dalam menunaikan tugas ini.
Hal-hal di bawah ini perlu dihindari oleh aktivis dakwah yaitu:
a.      Baru akan menjadi Murobbi jika ada yang ”menyerahkan diri” untuk ngaji
Seringkali  jika ada aktivis dakwah yang ditanya mengapa tidak/belum menjadi Murobbi, jawabannya adalah: ’ana sih mau saja tapi di wilayah tempat ana tinggal belum ada yang nanya-nanya’ atau ’memangnya ada yang mau ngaji?Kalau ada boleh deh!’

Sebenarnya secara mudah kita dapat melakukan beberapa hal jika sekedar ingin jadi Murobbi. Banyak masyarakat yang memerlukan uluran tangan untuk sekedar dapat membaca Al Qur’an. Ada juga yang ingin diajari baca tulis atau mungkin bimbingan belajar dan masih banyak lagi. Jadi menunggu disini sepertinya bukanlah suatu perilaku yang bijaksana.

b.      Murobbi yang menanti mutasi/limpahan binaan
’Menunggu durian jatuh’ adalah istilah lain dari menunggu adanya binaan. Jika kita telaah lebih dalam, mutasi atau limpahan binaan ini tidak menambah jumlah binaan, secara agregat jumlah binaan adalah tetap (zero sum). Menambah binaan di satu tempat namun mengurangi di tempat lain. Dalam hal ini tidak ada keuntungan bagi dakwah secara total. Fenomena ini terjadi di wilayah sekitar kota besar, Jakarta sebagai contoh; Tangerang, Bekasi, Depok mendapat limpahan aktivis dakwah dari Jakarta karena adanya kader yang pindah rumah. Data dan faktanya pertumbuhan kader di Jakarta negatif (jumlah binaan baru lebih sedikit dari binaan yang pindah ke luar wilayah).

3.      Aktivis masa akan datang
Melaksanakan tugas dakwah dan membina kepribadian aktivis dakwah merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dimana keduanya saling mempengaruhi. Maka perlu disadari pada seluruh murobbi untuk membangun diri dan binaannya agar menjadi aktivis-aktivis pilihan yang sanggup memikul tugas dakwah ini dengan hati lapang. Sehingga tugas demi tugas dapat tertunaikan dengan baik. Bila aktivis dakwah tidak lengah dalam masalah ini dan selalu berusaha untuk meningkatkan kepribadian diri dan binaannya dalam mengemban amanah ini maka ia dapat menaklukan dunia sebagaimana obsesi Imam Hasan Al Banna Rahimahullah. Sang Imam pernah mengungkapkan obsesinya dalam Risalahnya Kepada Pemuda, bahwa ia bisa menaklukan dunia dengan kader-kader pilihan dibawah binaannya. 'Siapkan 12 ribu kader, aku akan bina mereka dan aku akan taklukan dunia dengan bersama mereka'.
Oleh dari itu hal-hal yang diharapkan perlu dilakukan oleh setiap aktivis dakwah adalah:
a.      Menjadi murobbi yang  baik dan  memiliki binaan pada jenjang apapun.
Maksudnya adalah murobbi hendaknya tidak memilih dan memilah binaan dan hanya menahbiskan dirinya hanya menjadi murobbi kalangan baru atau hanya kalangan tertentu. Siapapun berhak dibina dan tentunya siapapun berhak untuk membina sesuai dengan kemampuan dan manhaj dakwah yang telah ditetapkan.

b.      Membuat panduan dalam hal transfer/mutasi binaan
Semakin banyaknya kader yang terbina memerlukan perangkat-perangkat yang semakin lengkap. Kita harus memastikan bahwa sebagai seorang murobbi selalu memberikan yang terbaik kepada binaan yang berada di bawah tanggung jawabnya.  Salah satu di antaranya adalah meyakinkan diri bahwa binaan yang dilepaskannya/ditransfer diamanahkan kepada Aktivis dakwah yang secara pemahaman dakwah dan harokah lebih baik dari dirinya.

*) Hanya memotret fenomena secara umum, tidak semua aktivis berperilaku demikian.



C. UNTUKMU AL AKH ASH SHODIQ

1.      Membangkitkan semangat inisiatif (Tasyji'u ruhil mubadarah)
Syaikh Sayid Muhammad Nuh menceritakan murabbinya Syaikh Abbas Asisi yang selalu kaya inisiatif dalam berdakwah. Beliau bukan hanya kaya akan ide dan gagasan tetapi kaya pula dengan sikap dan perbuatannya. Hingga banyak orang yang tertautkan hatinya pada dakwah karena inisiatifnya yang teramat tinggi. Ada pemuda yang tertarik pada dakwah karena ia menyebut namanya yang telah ia hafal. Ada pula orang yang berjiwa kasar menjadi pengikut dakwah lantaran ia buka dengan dialog-dialog yang menarik. Dan masih banyak lagi kisah lainnya.  
2.      Membangun jiwa tanggung jawab terhadap dakwah (Bina ruhil mas’uliyah)
Pujangga termasyhur, Al Buhturi dalam baris syairnya ia mengungkapkan bahwa jiwa yang berani hidup dengan menghadapi resiko apapun dan tetap tegar berdiri di atas pijakannya adalah ‘nafsun tudhi’u wa himmatun tatawaqqadu, jiwa yang menerangi dan cita-cita yang menyala-nyala’. Sebab jiwa yang semacam itu menjadi bukti bahwa ia benar dalam mengarungi bahtera hidupnya.
Imam Muhammad ibnu Ahmad yang dikenal dengan julukan Ibnu Razquwaih menyatakan pada murid-muridnya yang ia cintai. Karena ia ingin murid-murid lebih baik kualitas dan kepribadiannya dari yang kemarin. ‘Demi Allah, aku menyukai kehidupan di dunia  bukan karena usaha dan bukan pula karena perniagaan, akan tetapi karena dzikir pada Allah bersama kalian dan membacakan hadits kepada kalian sehingga kalian lebih baik’. Kiranya para murobbi perlu merenungi ungkapan Sang Syeikh ini agar amanah ini dapat tertunaikan di pundak kita sehingga ia menjadi amal perberat timbangan kebaikan kita di akhirat nanti. Sekaligus mampu mengimplementasikan firman Allah SWT. bahwa pemimpin dan pengarah yang baik laksana pohon yang mengakar dan berdiri tegak memberikan buah yang tak pernah henti.

3.      Membangung jiwa bersungguh-sungguh dan tekun (Bina Al Jiddiyah wal Mu’azhibah).
Kesungguhan adalah modal utama untuk dapat menunaikan setiap tugas. Dan kesungguhan merupakan indikasi dari sikap yang penuh tanggung jawab. Ia pun cerminan dari keimanan dan keyakinan yang kuat akan pertemuannya dengan Sang Rabbul Izzati. Sehingga melahirkan perilaku siap dan sedia menunaikan suatu tugas yang diamanahkan kepadanya. Dari sinilah akan diukur seberapa besar kesiapan dan kesediaan yang berdampak pada kepuasan masyarakat akan pelayanan dan penunaian tanggung jawab tersebut.
Bila melihat sederetan tugas-tugas sebagai murobbi maka kita temukan bahwa tugas tersebut betul-betul tidak sepele. Tugas dan tanggung jawab menjadi murobbi itu tidak boleh dianggap main-main. Apalagi harapan yang dimiliki binaan teramat tinggi kepada murobbi. Mereka berharap bahwa murobbi pasti dapat memikul tugas itu dan dapat memberikan pengaruh kebaikan kepada umat.
4.      Membangun Aktivitas yang berkesinambungan (Bina Al Istimrariyatul Amal).
Waktu senantiasa berjalan tak kenal henti maka hendaknya amalpun tak boleh berhenti. Kadang kita mengira suatu tugas sudah selesai namun ternyata masih ada setumpuk tugas lainnya yang sedang menunggu untuk diselesaikan. Gambaran yang sering diungkapkan orang adalah membina bagi seorang murobbi adalah bagaikan deburan ombak di lautan yang datang silih berganti dengan deburan ombak lainnya kadang ombak besar kadang ombak kecil. Bila membina tersebut dilakukan bak ombak tadi niscaya tugas-tuga untuk membina yang lainnya susul menyusul dan tidak akan pernah mati. Oleh karena itu kreatifitas dalam membina umat perlu diinternalisasikan kepada seluruh lapisan kader. Sehingga mereka bisa dapat menciptakan suatu masyarakat yang terbina dengan baik..
5.      Membangun kedisiplinan terhadap Manhaj (Bina Al Indhibatul Manhajiyah).
Manhaj merupakan rambu perjalanan dakwah ini. Ia bagaikan denah yang menunjukan arah dan apa yang mesti dilakukan. Karena itu  sebagai murobbi perlu melihat kembali apa yang telah digariskan oleh manhaj dakwah tentang tugas-tugas murobbi. Bila terkait dengan manhaj tarbiyah maka ia perlu diterapkan secara disiplin sesuai arahannya. Sebagaimana petun juk Allah SWT. kepada Nabi Yahya AS.“Hai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak”. (QS. Maryam: 12).
Membina bukanlah untuk menggapai ambisi pribadi. Binaan adalah milik jamaah dakwah sehingga tidak patut seorang murobbi memperlakukan binaanya seperti property yang dimilikinya.  Tentunya hal ini juga berlaku kepada seluruh aktivis dakwah untuk menerapkan tuntutan manhaj secara disiplin. Sehingga dapat mengantarkan perjalanan dakwah ini dari satu mihwar ke mihwar lainnya dengan benar.
6.      Membangun keteladanan dan arahan (Bina Al Qudwah wat Taujih).
Komunitas suatu masyarakat bisa dengan mudah terbentuk bila memiliki ada orang-orang yang berlaku selayaknya cermin jernih yang menjadi panutan bagi yang lain. Karena panutan bagai mercusuar yang akan memberi arah dan juga menjadi panduan jarak dan tujuan mereka. Disinilah pentingnya keteladanan seorang murobbi. Keteladanan dalam ubudiyah, ijtima’iyah, mu’amalah maupun keteladanan dalam amal siyasi. Tentu keteladanan yang dimaksud adalah bahwa murobbi menjadi contoh bagi yang lain. Mereka tentu ingin panutannya bagai cermin jernih tanpa goresan.

D. UNTUKMU CALON MUROBBI

  1. Menjadi Murobbi bukanlah bakat tapi sesuatu yang bisa dipelajari
Dengan kondisi masyarakat sekarang ini membina masyarakat adalah suatu kebutuhan mutlak. Tak ada alasan untuk diam dan membiarkan umat terbengkalai di tepi-tepi jurang kehidupan. Menjadi Murobbi bukan bakat turunan dari ”darah biru” sang ayah yang seorang murobbi, tapi ia bisa dipelajari sambil berjalannya proses tarbiyah. Mungkin bagi sebagian kader dakwah mungkin menjadi murobbi terasa sulit dan memberatkan, namun seberat-beratnya beban menjadi murobbi tidaklah seberat beban menjadi seorang suami/isteri dan ayah/ibu bagi manusia lainnya. Untuk hal yang lebih berat saja mayoritas manusia ”berani” menjadi suami/isteri, sangat logis jika ia lebih mampu menanggung amanah menjadi seorang murobbi?!  
Semua murobbi pastinya mengawali proses tarbiyahnya sebagai mutarobbi. Seiring perjalanan waktu sang mutarobbi bertambah pemahaman dan pencapaian karakteristik kepribadian Islamnya yang pada akhirnya ia berusaha keras menjadi pelanjut dakwah ini menjadi seorang Murobbi. Banyak murobbi yang hari-harinya full time  untuk mentarbiyah manusia. Dengan seringnya halaqoh, ta’lim, dan pertemuan yang dihadirinya, lambat laun ta’lim dan halaqoh-halaqoh itu menjadi bagian dari diri sang murobbi dan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Menjadi Murobbi yang semula merupakan sesuatu proses pembelajaran pada akhirnya menjadi suatu pilihan hidup yang indahnya akan terasa hilang jika tidak diperankan.  


  1. Menjadi Murobbi bukanlah bawaan lahir yang tak bisa diperoleh dari kehidupan
Murobbi bukanlah sesuatu yang dilahirkan dari rahim seorang ibu, ia adalah manusia dewasa yang telah tumbuh dengan celupan Islam dan didewasakan dengan permasalahan kehidupan. Ia telah hidup dengan pemahaman kehidupan jamaannya. Jaman dan kehidupan akan menempa manusia. Mengubah logam biasa menjadi magnet terkuat, dan mengayak pasir menyisakan intan. Kehidupan pada jamannya merupakan madrasah terindah bagi seorang calon Murobbi untuk selalu belajar menyerap energi positif darinya.

Kehidupan sejatinya akan terus berjalan dengan kondisi terburuk sekalipun. Namun kualitas kehidupan hanya akan terbentuk jika di dalam kehidupan penuh diisi dengan manusia-manusia yang jiwanya tumbuh seiring dengan pemahaman atas permasalahan jamannya. Untuk menumbuhkan jiwa itu menjadi Murobbi merupakan suatu panggilan suci. Panggilan yang akan menumbuhkan jiwa pengorbanan, meningkatkan empati atas permasalahan umat yang dibinanya, dan memberi banyak solusi inovatif dari kegagalan solusi yang diketengahkan sebelumnya.

  1. Menjadi Murobbi bukanlah bawaan alam yang tak dapat diciptakan
Alam yang diciptakan Allah bisa memberikan semua kebutuhan manusia kecuali di antaranya mencetak seorang Murobbi. Segala sesuatu yang berasal dari alam adalah menyehatkan, menyegarkan dan alami.  Namun ada satu kesegaran yang tidak bisa diberikan oleh alam, yaitu menjadi murobbi yang istiqomah. Murobbi inilah yang akan menyegarkan alam semesta ini dengan sentuhan keabadian Al Qur’an dan sunnah. Murobbi memang bukanlah bawaan alam, tapi ia akan terus tercipta dan membawa alam ini kepada fitrahnya yang murni sesuai dengan ajaran utusanNya.
Manusia bertugas untuk memelihara alam ini, mengelolanya dengan sentuhan kemanusiannya. Peran itu Allah berikan untuk manusia sebagai mahluk yang paling baik penciptaanya. Sayang sekali manusia yang bertugas menjaga alam semesta itu sangat banyak yang tidak terjaga akhlaknya, kehilangan nurani kemanusiaannya. Siapakah manusia yang peduli dan berempati agar alam ini tetap terpelihara?Jawabannya ialah Murobbi. Ialah yang secara tidak langsung yang memelihara alam semesta ini.  

  1. Menjadi Murobbi bukanlah masalah yang akan menyakitkan
a.      Menjadi Murobbi adalah Menyembuhkan
Murobbi memberikan obat kepada manusia, karena  Qur’an kalamullah yang dibawanya telah dijadikan  Allah sebagai  obat dan petunjuk bagi manusia. Dengan menjadi penyembuh manusia, sang penyembuh juga insya Allah akan turut tersembuhkan, sesuai hukum alam: hukum kekekalan energi; suatu energi tak akan hilang, hanya berubah menjadi energi yang lain. Siapa yang memberi kebaikan maka kebaikan itu akan kembali kepada dirinya. 
b.      Menjadi Murobbi akan Mengebalkan
Dengan banyak membina dan menangani permasalahan manusia dari berbagai karakter, maka seorang Murobbi akan banyak belajar dan mengambil manfaat dari pengalaman menangani permasalahan binaannya, dan menjadi pribadi yang selalu siap-siaga dalam menghadapi masalah yang pernah menimpa binaannya itu mungkin akan terjadi juga pada dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar