Selasa, 10 Januari 2012

Aktivis Dakwah juga Manusia


  1. Pendahuluan
Sebagai seorang manusia, kita mengalami kondisi yang dinamis, ada canda dan tawa, ada sedih dan bahagia dan ada puas dan kecewa. Semuanya terkumpul  menjadi diri seorang manusia. Sebagai manusia, ikhwah juga mengalami hal yang kurang lebih sama dengan manusia yang lain, hanya saja ikhwah memiliki beban yang lebih berat, ia harus berdakwah yang artinya membiayai diri, keluarga (kebutuhan terukur) dan pihak lain serta kegiatan dakwahnya (kebutuhan tak terukur).

Percepatan dakwah dewasa ini kita akui tidak secepat penyiapan perangkat-perangkat yang dapat mendukung kebutuhan dakwah itu sendiri dan instrumen ekonomi dan sosial mayoritas kader dakwah. Dalam jangka pendek hal itu mungkin masih dapat teratasi dari lingkup komunitas kecil, namun dalam jangka panjang, seiring dengan pertambahan kader, jika hal ini dibiarkan akan menjadi “Bom Waktu” yang siap meledak.

Seiring perjalanan dakwah, tanpa kita sadari sudah sekian banyak aktivis dakwah yang berguguran di jalan dakwah dengan berbagai macam alasan. Jika ingin memandang mudah masalah, anggaplah itu takdir atau hal yang wajar sebagai proses “seleksi alam” dalam dakwah. Namun jika kita ingin bersungguh-sungguh dan serius untuk mengurangi permasalahan tersebut, pasti ada sesuatu yang dapat dilakukan (kalau memang tidak/belum bisa disebut “wajib”).

Dalam tulisan ini penulis mencoba menyampaikan beberapa permasalahan yang terjadi di kalangan aktivis dakwah. Risalah ini diharapkan memberikan suatu bahan diskusi bagi kita semuanya untuk mencari solusi terbaik bagi aktivis dakwah dan dakwah itu sendiri dalam menghadapi permasalahan pada masa kini dan masa yang akan datang. Semoga Allah memberikan keistiqomahan kepada kita dalam menapaki jalan ini. Aamin.  

  1. Permasalahan
Permasalahan yang umum dihadapi di kalangan aktivis dakwah di wilayah kerja masing-masing adalah:
a.       Distribusi penugasan tidak merata;
                                i.      Penugasan struktural menumpuk kepada beberapa individu
   Suatu kondisi yang sering terjadi adalah struktur sudah dibentuk, pejabat telah ditunjuk tetapi yang terjadi dalam pekerjaan di lapangan adalah kondisi 4 L (Lu lagi-Lu lagi). Ini karena tidak adanya kesadaran untuk menghidupkan ”jiwa aktivis” dalam diri sang aktivis (”mental petarung” versi Ustadz Tiffatul Sembiring).

   Komitmen yang hendaknya dibangun adalah menduduki suatu jabatan adalah penting, namun yang lebih penting adalah bekerja memberikan kontribusi bagi dakwah. Sering kita temui banyak kader dakwah yang tidak pernah memberikan usul atau pendapat atas suatu kerja dakwah. Setelah diusut, ternyata yang bersangkutan sangat takut akan adanya idiom ”Man usul fahuwa Mas’ul” alias siapa yang punya usul dia akan menjadi mas’ul. Repotnya lagi sudah memberikan usul tidak bersedia, bekerja pun bersifat pasif, menunggu diajak-ajak atau bahkan  memilih pekerjaan/jabatan.
 
                              ii.      Banyak kader yang belum membina, sementara yang lain membina lebih dari satu kelompok
      Syndroma berikutnya adalah banyak kader yang enjoy dengan status ”Laa a’mala (pengangguran) fi sabilillah”, tidak membina satu halaqoh pun. Sementara yang lain berjibaku dengan dua atau lebih halaqoh binaan dengan segala ”kelengkapan” permasalahannya, sang kader asyik dengan urusan dirinya sendiri (dan atau keluarganya di rumah). Kondisi ini tak jarang terjadi pula pada banyak kader ”inti” dakwah ini.
     
      Menurut hemat penulis, sepertinya perlu  dilakukan langkah-langkah taktis menghadapi permasalahan ini. Ketika kita sering melakukan rekrutmen dakwah, kita mengalami kondisi yang paradoks, ”siap merekrut” tapi ”tidak siap untuk membina”. Betapa banyak dakwah sekolah, remaja masjid, kaum Bapak yang tak tertangani, akibat dari ”merasa nyamannya” kita dengan status ”ikhwan” atau ”kader inti” dalam dakwah ini. 


b.      SDM Ikhwan yang memiliki kemampuan spesial sangat terbatas;
                                      i.            Banyak kader yang tidak mengup-grade kemampuan dirinya.
      Sering kita temukan banyak kader yang belum/tidak ada upaya serius untuk melengkapi ”setengah da’inya” dengan mempunyai binaan atau mengelola majelis taklim. Mengejar target hafalan qur’an, hafalan do’a, atau sekedar membaca buku islam. Jika hal-hal yang sebenarnya kewajiban umum saja sudah tak terlaksana, apatah lagi meningkatkan kualitasnya kepada hal-hal dakwah  yang bersifat ”spesial”, tentu akan lebih berat lagi.

                                    ii.            Merasa puas dengan amanah yang ada di tangannya tanpa berkaca diri apakah dia cukup kompeten untuk memegang amanah itu.

Sering kali kita menemukan aktivis yang sudah merasa puas dengan amanah ”sederhana” yang diembannya, walaupun terkadang amanah itu mungkin diberikan bukan karena kompetensi yang bersangkutan untuk memegang amanah tersebut. Dalam konteks ini dua pendekatan harus dilakukan; a) ambil amanah tersebut dan kembalikan kepada yang berhak, atau b) meng-upgrade kompetensi  aktivis dimaksud.

Masalah yang umum terjadi adalah ketika seseorang sudah mencapai jenjang struktural atau memegang suatu amanah tertentu, sering kali muncul kondisi anti kritik, merasa puas dengan apa yang telah dilakukan, dan tidak perlu mendengar suara-suara ’arus bawah’ yang menghendaki perbaikan yang lebih berarti. Fenomena ini sering di sebut dengan fenomena ”katak dalam tempurung”.    

                                  iii.             Tidak berani berimprovisasi
 Berubah adalah keniscayaan, Diam artinya kebinasaan. Improvisasi  membuat kita selalu dalam suasana hati baru di jiwa yang sama. Dakwah dengan improvisasi membuka cakrawala pemikiran dan mendinginkan hati. Dengan improvisasi maka dakwah di jalan ini menjadi ”lebih lincah” dan indah bagi pelakunya..

c.       Perangkat-perangkat “jaring pengaman sosial”struktural belum ada atau belum efektif;
                                      i.            Bagaimana mengatasi ikhwan/akhwat yang telat nikah
                                    ii.            Bagaimana mengatasi permasalahan kebutuhan perumahan ikhwah
                                  iii.            Bagaimana mengatasi permasalahan kesehatan ikhwah
                                  iv.            Bagaimana mengatasi permasalahan pendidikan anak-anak ikhwah
                                    v.            Bagaimana mengatasi permasalahan krisis rumah tangga ikhwah

d.      Penyelesaian permasalahan ekonomi belum sistematik (masih bersifat kasuistik dan atas insiatif individu/kelompok tertentu);
                                      i.            Bagaimana menyediakan lapangan kerja bagi ikhwah yang menganggur/telah di-PHK.
                                    ii.            Bagaimana menyediakan jaringan ekonomi ikhwah yang dapat membuka pangsa pasar baru.
                                  iii.            Bagaimana mengoptimalkan ikhwan yang memiliki kemampuan ekonomi menengah atas agar terjadi trickledown effect untuk ikhwan yang lain.

  1. Solusi
a.       Pemerataan distribusi penugasan
b.      Mendorong SDM Ikhwan meningkatkan kemampuan sesuai dengan kebutuhan dakwah
c.       Pembentukan perangkat jaring pengaman sosial dan ekonomi serta memberdayakannya secara efektif
d.      Penyelesaian masalah seoptimal mungkin menggunakan sistem yang telah ditetapkan dalam kesepakatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar